Awas Anjing Galak

 

Spitfire
Spitfire

Roald Dahl


Jauh di bawah sana hanya ada lautan awan putih yang bergelombang. Di atas hanya ada matahari, dan matahari pun terlihat putih seperti awan-awan, karena matahari tidak pernah berwarna kuning ketika kita lihat dari ketinggian di atas udara. 

Dia masih menerbangkan Spitfire1. Tangan kanannya berada pada tongkat kendali, dan dia hanya menggunakan kaki kirinya untuk kemudi. Sangat mudah. Mesin terbang dengan baik, dan dia tau apa yang dia lakukan.  

Semuanya baik-baik saja, pikirannya. Aku baik-baik saja. Aku menerbangkan ini dengan baik. Aku tau arah pulang. Aku akan sampai dalam setengah jam. Ketika aku mendarat, aku akan langsung meluncur masuk dan memastikan mesin lalu aku akan berkata, tolong bantu aku keluar. Aku harus memastikan suaraku terdengar normal dan natural dan tidak akan ada satu orang pun yang menyangka apa pun. Kemudian aku akan berkata, tolong siapapun bantu aku keluar. Aku tidak bisa keluar sendirian karena aku kehilangan satu kakiku. Semuanya pasti akan tertawa dan berpikir aku bercanda, dan aku akan berkata, baiklah, sini kalian dan lihatlah sendiri, dasar kalian bajingan. Lalu Yorky akan memanjat ke arah sayap dan menengok ke dalam. Mungkin dia akan mual karena darah dan kekacauan di sini. Aku harus tertawa dan berkata, demi Tuhan, bantu aku!

Dia menengok lagi ke arah kaki kanannya. Tidak banyak yang tersisa. Pecahan peluru meriam telah mengenai pahanya, tepat di atas lutut, dan sekarang tidak ada lagi yang tersisa selain kekacauan dan lautan darah. Tapi tak ada rasa sakit sedikit pun. Ketika dia melihat ke arah kakinya, dia merasa melihat sesuatu yang bukan miliknya. Dan tidak ada hubungannya sama sekali dengannya. Hanya kekacauan yang terjadi di kokpit; sesuatu yang aneh dan jarang terjadi dan sedikitnya agak menarik. Seperti menemukan bangkai kucing di atas sofa.

Dia benar-benar merasa baik-baik saja, dan karena itu dia baik-baik saja, dia merasa bersemangat dan tidak takut sama sekali.

Aku tidak perlu menghubungi radio untuk meminta bantuan tambahan darah, pikirnya. Itu tidaklah penting. Dan ketika aku mendarat, aku akan duduk dengan normal dan berkata, salah satu dari kalian ke sini dan bantu aku, karena aku kehilangan satu kakiku. Itu akan lucu. Aku akan tertawa sedikit ketika mengucapkannya; aku akan berkata dengan tenang dan pelan, dan mereka semua akan berpikir aku bercanda. Ketika Yorky naik melalui sayap dan mual melihatku, aku akan berkata, Yorky, bajingan kau, mobilku sudah kamu perbaiki belum? Lalu aku akan turun dari pesawat dan membuat laporan dan setelahnya aku akan pergi ke London. Aku akan membawa setengah botol whisky dan memberikannya ke Bluey. Kami akan duduk di ruangannya dan meminumnya bersama. Aku akan mengambil air dari kamar mandi. Aku tidak akan berbicara banyak sampai waktu tidur, lalu aku akan berkata, Bluey, aku punya kejutan untukmu. Aku kehilangan satu kaki. Tapi tak usah dipikirkan selama aku tidak kehilanganmu. Ini sama sekali tidak menyakitkan.

Kami akan pergi kemana pun menggunakan mobil. Aku selalu benci jalan kaki, kecuali ketika aku berjalan di jalanan  pengrajin tembaga di Baghdad2, tapi aku juga bisa naik becak. Aku bisa pulang dan menebang pohon, tapi kepala kapaknya selalu lepas dari gagangnya. Air panas, aku hanya butuh air panas; dan merendamnya agar gagangnya lebih besar. Aku menebang banyak pohon terakhir kali aku pulang, dan aku merendam kapak. . . . 

Kemudian dia melihat matahari menyinari penutup mesin pesawatnya. Dia melihat logam panjang di penutup mesin, dan dia ingat di mana dia berada. Dia menyadari bahwa kondisinya memburuk; bahwa dia sakit dan pusing. Kepalanya selalu jatuh ke depan ke arah dada karena lehernya seperti sudah tidak memiliki tenaga sama sekali. Tapi dia tau kalau dia menerbangkan Spitfire, dan dia bisa merasakan kemudi di antara jari-jemari tangan kanannya.  

Aku akan pingsan, pikirannya. Kapan saja aku akan pingsan. 

Dia menengok ke arah altimeter3. Dua puluh satu ribu. Dua puluh satu ribu berapa? Ketika dia mencoba melihat ke arah altimeter semuanya menjadi buram, dan dia bahkan tidak bisa melihat jarum penanda sama sekali. Dia tau dia harus melontarkan dirinya dari pesawat; tidak ada waktu yang bisa dibuang percuma, atau dia akan hilang kesadaran. Buru-buru, panik, dia mencoba membuka jendela pesawat dengan tangan kirinya, tapi dia tak punya tenaga sama sekali. Dalam beberapa detik dia melepaskan tangan kanannya dari kemudi, dan berhasil membuka jendela pesawat dengan kedua tangannya. Angin dingin yang menerpa wajahnya sedikit membantu. Pikirannya menjadi jernih, dan tindakannya menjadi terukur dan terarah. Inilah yang terjadi ke pilot yang handal. Dia menghirup nafas dalam-dalam dari masker oksigennya, dan ketika dia menghirup nafas, dia melihat ke arah kokpit. Di bawah sana hanya lautan awan putih, lalu dia menyadari bahwa dia tak tau di mana ia berada.

Seharusnya ini di selat Inggris4, pikirnya. Aku yakin jatuh ke dalam air.

Dia menarik gas, melepaskan helm, melepaskan sabuk pengaman, dan membelokkan pesawat tajam ke arah kiri. Spitfire meneteskan cairan dari bagian sayapnya, dan sudah berada di posisi terbalik. Si pilot jatuh.

Dia membuka matanya ketika terjatuh, karena dia tau dia tidak boleh pingsang sebelum menarik parasutnya. Di satu sisi dia melihat matahari; di sisi satunya dia melihat putihnya awan, dan dia terjatuh, sebagaimana jungkir balik di udara, awan mengejar matahari dan matahari mengejar awan. Mereka saling mengejar satu sama lain dalam lingkaran kecil; saling mengejar dengan cepat dan semakin cepat, dan terlihat matahari dan awan dan awan dan matahari, dan awan terlihat semakin dekat tanpa ada tanda-tanda matahari lagi, tapi hanya warna putih yang amat putih. Seluruh dunia hanya berwarna putih, dan tidak ada apa-apa di dalamnya. Sangking putihnya kadang terlihat seperti warna hitam, dan setelah beberapa waktu menjadi hitam atau putih, tapi lebih sering putih. Dia menontonnya sebagaimana putih berubah ke hitam, hitam ke putih lagi, dan putih bertahan cukup lama, tapi hitam hanya bertahan beberapa detik. Akhirnya dia pun memiliki kebiasaan tidur ketika melihat warna putih dan terbangun untuk melihat dunia ketika melihat warna hitam. Tapi warna hitam hanya bertahan sangat cepat. Kadang hanya sekejap saja, seperti seseorang yang memastikan lampu lalu seketika menghidupkannya lagi, sehingga tiap warna putih muncul, dia tertidur.  

Suatu hari, ketika semuanya berwarna putih, dia merentangkan tangannya dan memegang sesuatu. Dia meremasnya di antara jari jemarinya. Untuk sementara ketika dia berbaring di sana, dibiarkan ujung jarinya bermain dengan apa yang dia sentuh. Lalu perlahan dia membuka mata, melihat ke bawah ke arah tangannya, dan terlihat kalau dia sedang menggenggam sesuatu berwarna putih. Sebuah ujung sprei. Dia tau kalau itu adalah selimut karena dia bisa melihat tekstur dari bahan dan jahitan dari selimut itu. Dia memicingkan matanya, dan membukanya dengan cepat. Kali ini dia melihat sebuah ruangan. Dia melihat kasur di mana dia terbaring; dia melihat tembok abu-abu dan pintu dan tirai hijau menutupi jendela. Ada beberapa mawar di atas meja samping tempat tidurnya.

Lalu dia melihat baskom dekat mawar di atas meja. Baskom dari enamel putih, dan di sampingnya ada gelas obat kecil.

Ini rumah sakit, pikirnya. Aku di rumah sakit. Tapi dia tidak bisa mengingat apa-apa. Dia berbaring di atas bantalnya, melihat ke arah langit-langit dan berpikir apa yang telah terjadi. Dia menatap langit-langit yang sangat bersih dan kelabu, kemudian tiba-tiba ada seekor lalat berjalan di sana. Penampakan lalat ini, tiba-tiba seperti sebuah titik hitam kecil di lautan kelabu, ini membuat otaknya bekerja, dan dengan cepat, dalam hitungan detik, dia mengingat semuanya. Dia mengingat Spitfire dan dia mengingat altimeter menunjukkan dua puluh satu ribu kaki. Dia mengingat membuka jendela pesawat dengan kedua tangannya, dan dia mengingat dia jatuh dari pesawat. Dia mengingat kakinya.   

Semua nampak baik-baik saja sekarang. Dia melihat ke ujung kasur, tapi dia tidak tau apa-apa. Dia menaruh satu tangannya di bawah selimut dan meraba lututnya. Dia menemukan satu lututnya, tapi ketika ingin meraba lutut satunya, tangannya menyentuh sesuatu yang lembut dan terlilit perban.

Lalu pintu terbuka dan seorang perawat masuk.

“Halo”, katanya. “Jadi kamu sudah bangun juga.”

Perawat itu tidak terlalu cantik, tapi dia berbadan besar dan bersih. Si perawat sepertinya berumur antara tiga puluhan sampai empat puluhan dan memiliki rambut pirang. Lebih dari itu, tidak ada hal lain yang dia perhatikan.

“Di mana aku?”

“Kamu orang yang beruntung. Kamu mendarat tepat di hutan dekat pantai. Kamu di Brighton5. Mereka membawamu ke sini dua hari lalu, dan sekarang kamu sudah membaik. Kamu terlihat sehat.”

“Aku kehilangan satu kaki,” katanya.

“Bukan masalah besar. Aku akan dapat penggantinya. Sekarang kamu harus tidur. Dokter akan datang sekitar satu jam lagi.” Perawat itu mengambil baskom dan gelas obat lalu keluar.

Tapi dia tidak bisa tidur. Dia ingin tetap terjaga karena takut semisal matanya terpejam semuanya akan hilang. Dia berbaring menatap ke langit-langit. Lalat itu masih di sana. Sangat bersemangat. Lalat itu lari beberapa sentimeter ke depan sangat cepat, lalu berhenti. Lari lagi ke depan, berhenti, lari ke depan, berhenti, lalu tiap beberapa saat dia akan terbang dan berdengung dalam lingkaran kecil. Lalat itu selalu mendarat di tempat yang sama dan mulai berlari, berhenti berulang-ulang. Dia melihatnya untuk waktu yang cukup lama sehingga tidak tampak terlihat seperti seekor lalat lagi, tapi noda hitam di atas lautan kelabu, dan dia tetap melihatnya bahkan saat si perawat membuka pintu, dan berdiri di sampingnya ketika dokter masuk. Dia adalah dokter militer, seorang mayor, dan dia memiliki pita dari perang terakhir di dadanya. Botak dan kecil, tapi si dokter ini memiliki wajah yang ramah dan mata yang baik. 

“Ya, ya,” katanya. “Jadi kamu akhirnya bangun juga. Bagaimana perasaanmu?”

“Aku baik-baik saja.”

“Bagus lah. Kamu akan segera sembuh dan beraktivitas lagi.”

Dokter mengecek nadinya.

“Ngomong-omong,” kata si dokter, “beberapa orang dari pasukanmu menelepon dan menanyakan kabarmu. Mereka ingin datang menjengukmu, tapi aku bilang kalau mereka lebih baik menunggu sehari atau dua hari. Sudah kuberitahu kalau kamu baik-baik saja, dan mereka bisa menjengukmu agak nanti. Sekarang berbaringlah dengan nyaman dan istirahat. Ada yang bisa dibaca?” Dia melihat ke arah meja dengan mawar di atas ya. “Tidak ada ya. Perawat akan menjagamu. Dia akan membantumu dengan apa saja yang kamu butuhkan.” Itu adalah kata-kata terakhir si dokter, lalu melambaikan tangannya dan pergi keluar diikuti oleh si perawat yang besar dan bersih itu.

Ketika keduanya sudah pergi, dia berbaring dan menatap langit-langit lagi. Si lalat masih di sana dan sembari melihat lalat dia mendengar gemuruh pesawat dari kejauhan. Dia berbaring mendengarkan suara mesin pesawat itu. Jaraknya sangat jauh. Apa yang terjadi, pikirnya. Coba lihat apakah aku bisa menerkanya. Seketika dia menengokkan kepalanya tajam ke salah satu sisi. Semua orang yang pernah dibom bisa tau suara mesin dari Junkers 886. Mereka bisa tau semua bombers7 Jerman, terutama Junkers 88. Mesinnya seperti penyanyi yang berduet. Ada suara bass yang dalam dan disertai dengan suara tenor melengking tinggi. Nyanyian tenornya yang membuat suara Junkers 88 mudah dikenali.

Dia berbaring mendengarkan suara itu, dan dia sangat yakin tentang asal suara itu. Tapi di mana suara sirine dan tembakan? Pilot Jerman itu benar-benar punya nyali terbang dekat Brighton sendirian di tengah hari.

Pesawat itu selalu terdengar sangat jauh, dan beberapa saat kemudian suaranya hilang dari kejauhan. Tak lama berselang ada suara lain. Kali ini terlalu jauh, tapi memiliki suara rendah bass yang bergelombang dan nada tenor tinggi, dan dia yakin dengan itu. Dia sudah mendengarkan suara itu tiap hari ketika di medan perang.

Dia bertanya-tanya. Ada bel di atas meja. Dia menjangkaunya dengan tangan dan menekannya. Dia mendengar suara langkah kaki dari koridor dan si perawat masuk.

“Perawat, ada apa dengan pesawat-pesawat itu?”

“Aku tidak tau. Aku tidak mendengar apa pun. Mungkin fighters8 atau bombers. Mungkin mereka pulang ke Perancis. Kenapa?”

“Itu Junkers 88. Aku yakin mereka Junkers 88. Aku tau suara mesinnya. Ada dua pesawat. Apa yang mereka lakukan di sini?” 

Si perawat mendekatinya di samping kasur dan mulai merapikan selimut di kasur.

“Ya ampun, apa yang kamu bayangkan. Kamu tidak perlu cemas terkait hal-hal semacam itu. Mau diambilkan sesuatu untuk dibaca?”

“Tidak usah, terima kasih.”

Perawat itu menata bantal dan menyisir rambutnya ke belakang dari keningnya dengan tangan.

“Mereka tidak pernah datang ketika siang hari. Kamu tau itu kan. Mereka mungkin Lancasters8 atau Flying Fortresses9.

“Perawat.”

“Ya.”

“Bisa minta rokok?”

“Tentu saja.”

Perawat itu keluar dan kembali lagi dengan satu bungkus Players10 dan beberapa korek api. Semua itu diberikan kepalanya dan ketika dia menaruh sebatang rokok ke mulutnya, si perawat menyalakan korek api untuk membakar rokok itu.

“Kalau kamu butuh sesuatu,” kata si perawat, “tekan saja belnya.” dan dia pun pergi.

Menuju malam dia mendengar suara lain dari pesawat. Suara itu amat jauh, tapi dia tau kalau itu adalah pesawat bermesin tunggal. Tapi dia tidak tau di mana pesawat itu berada. Pesawat itu terbang sangat cepat, dia tau itu. Tapi pesawat itu bukan Spitfire, dan bukan Hurricane Fighter11. Pesawat itu tidak terdengar seperti mesin-mesin Amerika. Mereka lebih berisik. Dia tidak tau jenis apa itu, dan hal ini membuatnya sangat cemas. Mungkin aku sangat sakit, pikirnya. Mungkin semua hanya imajinasinya. Mungkin aku mengigau. Aku sama sekali tidak bisa berpikir.

Malam itu si perawat datang dengan baskom dan air hangat lalu mulai menyeka tubuhnya.

“Semoga kamu tidak berpikir kita sedang dibom.”, katanya.

Perawat itu melepaskan bajunya dan menyabun sisi kanan tangannya dengan kain flanel. Dia tidak menjawab.

Lalu dia mencuci flanel tadi ke air, menambahkan sabun, dan mulai membasuh dadanya. 

“Kamu nampak baik-baik saja malam ini,” kata si perawat. “Mereka melakukan operasi secepatnya ketika kamu datang. Hasilnya juga sangat bagus. Kamu akan baik-baik saja. Aku juga punya adik di RAF12,” tambahnya. “Menerbangkan bombers.”

Dia menjawab, “Aku sekolah di Brighton.”

Perawat itu melihatnya dengan cepat. “Baguslah,” katanya. “Aku yakin kamu bakal kenal beberapa orang di kota ini.”

“Iya,” jawabnya, “aku kenal beberapa orang.”

Perawat itu selesai membasuh dadanya dan kedua lengannya, lalu sekarang dia mengangkat selimut sehingga kakinya tidak lagi tertutup. Dia mengangkat selimut itu dengan baik sehingga perban di kaki tidak bergerak sedikitpun dari kasur. Lalu dia melepaskan tali dari celana dan melepaskan celananya. Tidak ada masalah berarti karena bagian kanan celana itu sudah dipotong, jadi tidak mengganggu perban yang terpasang. Perawat itu mulai menyeka kaki kirinya dan bagian tubuh yang lain. Ini kali pertama dia diseka di atas kasur, dan dia sangat malu. Si perawat menaruh handuk di bawah kakinya, dan dia menyeka kakinya dengan flanel. Dia berkata, “Sabun sialan ini tidak mau berbusa sama sekali. Ini airnya. Sabun ini keras seperti batu.” 

Dia menjawab, “Sabun segara tidak begitu bagus dan tentu dengan air sadah13, semuanya akan sia-sia.” Sebagaimana dia berkata demikian, dia tiba-tiba mengingat sesuatu. Dia mengingat bak mandi yang sering digunakannya ketika bersekolah di Brighton, di lorong panjang kamar mandi berlantaikan batu ada empat bak mandi di sana. Dia mengingat bagaimana air lunak14 yang membuatmu harus membilasnya lagi setelah menggunakan sabun di seluruh tubuhmu, dan dia mengingat bagaimana busa-busa itu berada di permukaan air, sehingga dia tidak bisa melihat kakinya. Dia mengingat sesekali mereka mengkonsumsi kalsium tablet karena dokter sekolah selalu berkata kalau air lunak buruk untuk gigi.

“Di Brighton,” katanya, “airnya bukan air. . .”

Dia tidak menyelesaikan ucapannya. Sesuatu terlintas di benaknya; sesuatu yang sangat menarik dan absurd hingga dia merasa perlu menceritakannya kepada si perawat dan tertawa.

Si perawat melihat ke arahnya. “Airnya bukan air apa?” katanya.

“Bukan apa-apa,” jawabnya. “Aku hanya bermimpi.”

Si perawat mencuci kain flanel di baskom, membilas sabun di kakinya, dan mengeringkannya dengan handuk.

“Enak rasanya mandi,” katanya. “Aku merasa lebih baik.” Dia meraba wajahnya dengan kedua tangan. “Aku perlu bercukur.”

“Kita akan lakukan itu besok,” ujar perawat. “Mungkin kamu bisa bercukur sendiri.”

Malam itu dia tidak bisa tidur. Dia terjaga berpikir terkait Junkers 88 dan air sadah yang digunakan perawat. Dia tidak bisa berpikir hal lain. Ada Junkers 88, katanya pada dirinya sendiri. Aku tau mereka terbang tadi. Dan ini tidak masuk akal, karena mereka tidak akan pernah terbang serendah itu di tengah hari. Aku tau itu, dan aku tau itu tidak mungkin. Mungkin aku sakit. Mungkin aku seperti idiot dan tidak tau apa yang ku katakan. Mungkin aku mengigau. Untuk waktu yang lama dia terjaga berpikir terkait hal-hal itu, dan lalu dia duduk di atas kasurnya seraya berkata dengan kencang, “Akan ku buktikan aku tidak gila. Aku akan membuat pidato singkat yang komplek dan intelektual. Aku akan menceritakan apa yang harus dilakukan kepada Jerman setelah perang.” Tapi sebelum dia melakukan semua itu, dia tertidur.

Dia terbangun tepat saat cahaya pertama di hari itu menyelinap melalui celah-celah tirai yang menutupi jendela. Kamarnya masih gelap, tapi dia tau persis bahwa cahaya matahari sudah bersinar di luar. Dia berbaring dan melihat ke arah cahaya kelabu dari celah-celah tirai dan sembari berbaring dia teringat hari sebelumnya. Dia teringat terkait Junkers 88 dan air sadah di sini; dia teringat perawat berbadan besar yang ramah dan dokter yang baik, dan sekarang benih-benih keraguan yang mengakar di pikirannya mulai tumbuh dan terus tumbuh.

Dia melihat ke sekitar kamar. Perawat itu sudah mengambil bunga mawar yang ada di meja semalam, dan hanya ada sebungkus rokok, sekotak korek api serta asbak di atas meja. Selebihnya, tidak ada apa-apa. Sudah tidak lagi hangat atau rama. Sudah tidak lagi nyaman bahkan. Sudah menjadi dingin dan kosong dan hening.

Perlahan benih keraguannya tumbuh, dan bersamaan dengan itu datangnya ketakutan, cahaya, sebuah ketakutan yang berdansa untuk memberi peringatan bukan rasa ketakutan itu sendiri; perasaan takut yang datang bukan karena kita benar-benar takut, tapi karena kita merasa ada yang salah. Secara cepat keraguan dan ketakutannya tumbuh hingga dia merasa gusar dan marah, lalu ketika dia meraba keningnya dengan tangannya, dia mendapati keringat mengucur deras. Dia tau dengan sangat kalau dia harus melakukan sesuatu; dia harus mencari cara untuk membuktikan apakah dia benar atau salah, lalu dia melihat lagi ke arah jendela dan tirai hijau. Dari tempat dia berbaring, jendela itu berada tepat di depannya, tapi jaraknya seperti sepuluh meter dari tempatnya. Tapi dia tau dia harus mencapai jendela itu dan menengok ke luar. Ide itu pun berubah menjadi obsesi baginya, dan dia tidak bisa berpikir apa-apa selain menuju jendela itu. Tapi bagaimana dengan kakinya? Dia memasukkan tangannya ke bawah selimut dan meraba perban tebal yang tersisa dari kaki kanannya. Sepertinya baik-baik saja. Tidak terasa sakit. Tapi pasti akan sangat susah. 

Dia duduk. Lalu mendorong selimutnya ke samping dan menapakkan kaki kirinya di lantai. Pelan dan perlahan dia mendorong badannya ke depan hingga kedua tangannya menyentuh lantai; dan lalu dia turun dari kasur, berlutut di atas karpet. Dia melihat sisa kaki kanannya. Sangat pendek dan tebal, tertutup perban. Awalnya terasa sakit, dan dia merasa bekas lukanya berdenyut. Dia seperti ingin terjatuh, berbaring di karpet dan tidak melakukan apa-apa, tapi dia tau dia harus terus menuju jendela itu.

Dengan dua tangan dan satu kaki, dia merangkak menuju jendela. Dia akan merangkak ke depan sejauh jangkauan tangannya, lalu dia akan melompat sedikit sambil menggeser kaki kirinya tiap melompat. Tiap kali dia melakukan itu, bekas lukanya terasa sakit dan dia merintih kesakitan, tapi dia terus merangkak di lantai dengan dua tangan dan satu kaki. Ketika dia sampai di jendela, dia menggapai jendela dengan kedua tangannya. Perlahan mengangkat tubuhnya hingga dia berdiri dengan kaki kirinya. Lalu dengan cepat membuka tirai dan melihat ke luar.

Dia melihat rumah kecil dengan atap berwarna abu-abu di samping jalan kecil dan di belakangnya ada ladang yang sudah dibajak. Di depan rumah ada taman yang tidak terurus dan pagar hijau yang memisahkan antara taman dengan jalan. Dia menemukan sebuah papan ketika melihat ke arah pagar. Hanya sebuah papan yang dipaku di atas tiang kecil, dan karena pagar itu tidak pernah dirawat untuk waktu yang lama, banyak dahan tumbuh di sekitar papan itu sehingga terlihat kalau papan itu berada di tengah-tengah pagar. Ada sesuatu yang tertulis di atas papan itu dengan cat berwarna putih, lalu dia menempelkan kepalanya di kaca jendela, mencoba untuk membaca tulisan itu. Huruf pertama adalah G, dia bisa melihatnya. Huruf kedua adalah A, dan huruf ketiga adalah R. Satu demi satu dia berhasil melihat semua huruf yang ada di sana. Ada tiga kata, dan perlahan dia mengejar huruf-huruf itu keras-keras agar bisa membacanya. G-A-R-D-E A-U C-H-I-E-N. Garde au chien15. Itu yang tertulis di sana.  

Dia berdiri di sana mencoba mengimbangkan dirinya dengan satu kaki dan berpegangan erat di ujung jendela dengan kedua tangannya, menatap ke papan dan huruf-huruf berwarna putih dari tiap kata-kata di atas papan itu. Untuk sesaat dia tidak bisa berpikir sama sekali. Dia berdiri di sana melihat ke arah papan, mengulangi kata-kata yang ada di sana berkali-kali, dan lalu pelan-pelan dia mulai menyadari arti kata-kata itu. Dia melihat ke arah rumah kecil dan ladang yang sudah dibajak. Dia melihat kebun buah kecil di sisi kiri rumah kecil itu dan dia melihat hijau pedesaan di seberangnya. “Jadi ini Perancis,” katanya. “Aku Perancis.” 

Sekarang rasa ngilu di paha kanannya makin terasa. Seperti seseorang memukuli bekas amputasinya dengan palu, seketika rasa sakitnya makin menjadi dan memberikan efek samping ke kepalanya dan dalam beberapa saat dia pikir dia akan jatuh. Secepatnya dia bersimpuh lagi, merangkak menuju kasur dan mengangkat dirinya ke atas kasur. Dia menarik selimut menutupi tubuhnya dan berbaring, kelelahan. Dia masih saja tidak bisa berpikir kecuali papan kecil di pagar, ladang yang sudah dibajak dan kebun buah. Kata-kata di papan itulah yang membuat dia tidak bisa lupa.

Tak begitu lama setelah itu si perawat datang. Dia membawa baskom berisi air hangat dan dia berkata, “Pagi, bagaimana kabarmu hari ini?”

Dia menjawab, “Pagi.”

Rasa sakit itu masih terasa di bawah perbannya, tapi dia tidak mau menceritakan itu pada si perawat. Dia melihat ke arahnya saat perawat itu sibuk menyiapkan baskom untuk membasuh tubuhnya. Dia melihatnya secara lebih hati-hati sekarang. Rambutnya pirang. Dia tinggi dengan tulang yang besar, dan wajahnya tampak menyenangkan untuk dipandang. Tapi ada sesuatu yang terus bergerak di matanya. Kedua bola matanya tak pernah diam. Tidak pernah melihat sesuatu lebih dari sekian detik dan kedua bola matanya akan cepat-cepat berpindah melihat hal-hal lain dalam kamar. Ada sesuatu yang ganjal juga dari gerak-geriknya. Terlihat terlalu tegas dan gugup jika dibandingkan dengan cara perawat itu berbicara.

Perawat itu menaruh baskom, melepaskan baju piyamanya dan mulai menyekanya.

“Tidurmu lelap?”

“Iya.”

“Bagus,” jawab si perawat. Dia membasuh tangan dan dadanya.

“Aku percaya ada seseorang yang ingin menemuimu dari Angkatan Udara setelah sarapan,” kata perawat itu. “Mereka ingin membuat laporan atau apa lah itu. Aku yakin kamu lebih paham masalah ini. Bagaimana kamu tertembak dan lain-lain. Aku pikir mereka tidak akan lama-lama di sini, jadi tidak usah khawatir.”

Dia tidak menjawab. Perawat itu selesai membasuhnya, dan memberikannya sikat gigi dan pasta gigi. Dia menggosok giginya, berkumur dan membuangnya dalam baskom.

Kemudian perawat itu membawakannya sarapan di atas nampan, tapi dia tidak ingin makan. Dia merasa sangat lemah dan sakit, dan dia hanya ingin berbaring memikirkan apa yang sudah terjadi. Dan ada kata-kata yang berlarian di kepalanya. Kata-kata yang dikatakan Johny, dari pasukan Intelijen, selalu diulang kepada semua pilot tiap hari sebelum mereka pergi mengudara. Dia bisa melihat Johny sekarang, berdiri menyandar pada dinding dengan pipa rokok di tangannya dan berkata, “Jika mereka menangkapmu, jangan pernah lupa, hanya sebutkan namamu, pangkatmu dan nomormu. Tidak ada yang lain. Demi Tuhan, jangan bilang apa-apa selain itu.” 

“Nah ini,” kata si perawat sambil menaruh nampan itu ke pangkuannya. “Aku mengambilkan telur untukmu. Kamu baik-baik saja kan?”

“Iya.”

Perawat itu berdiri di samping kasur. “Kamu baik-baik saja?”

“Iya.”

“Baguslah. Kalau kamu mau telur lagi aku bisa mengambilkannya.”

“Tidak usah.”

“Tekan saja belnya kalau kamu butuh sesuatu.” Dan perawat itu keluar.

Dia baru saja selesai makan, dan si perawat sudah masuk ke kamarnya lagi.

Perawat itu berkata, “Komandan Udara Roberts di sini. Aku sudah bilang kepadanya kalau dia hanya bisa di sini sebentar saja.”

Perawat itu menggerakkan tangannya dan Komandan Udara itu masuk ke kamar.

“Turut berduka terkait apa yang kamu alami,” katanya.

Dia adalah perwira RAF biasa, mengenakan seragam lusuh, dan mengenakan pin sayap16 serta DFC17. Dia agak tinggi dan kurus dengan rambut hitam yang lebat. Giginya, nampak tidak beraturan dan berjarak, bahkan sedikit terlihat ketika dia menutup mulutnya. Sambil berbicara dia mengambil sebuah formulir dan pensil dari tasnya, dan menarik kursi lalu duduk.

“Bagaimana perasaanmu?”

Tidak ada jawaban.

“Nasib sial untuk kakimu. Aku tau bagaimana perasaanmu. Aku mendengar kamu memberi perlahan sengit sebelum mereka mengenaimu.”

Lelaki yang terbaring di kasur itu masih membisu, melihat ke arah lelaki yang duduk di kursi.

Lelaki di atas kursi itu berkata, “Baiklah, mari kita selesaikan semuanya. Aku takut kamu harus menjawab beberapa pertanyaan sehingga aku bisa laporan pertempuran. Sekarang kita mulai, pertama-tama, dari pasukan mana kamu?”

Lelaki yang berbaring di atas kasur itu tidak bergerang. Dia menatap tajam ke Komandan Udara dan berkata, “Namaku Peter Williamson. Pangkatku adalah Pemimpin Pasukan dan nomorku adalah sembilan dua empat lima tujuh.”


Catatan:
  • Roald Dahl merupakan penulis berkebangsaan Inggris yang kebih dikenal dengan karya sastra anaknya. Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah Charlie and the Chocolate Factory. Semasa hidupnya dia pernah bergabung dengan Royal Air Force atau Angkatan Udara Inggris, sehingga dia menerbitkan beberapa cerita pendek bertema perang yang dia sendiri alami.
  • Cerita pendek ini berjudul asli "Beware of the Dog" yang pertama kali dipublikasikan di Harper's Magazine pada tahun 1946.
Catatan Kaki:
  1. Spitfire merupakan pesawat buatan Inggris yang memiliki satu kursi dan digunakan oleh Royal Air Force pada perang dunia kedua.
  2. Baghdad merupakan ibu kota Irak yang pernah dikuasai oleh Inggris ketika perang dunia pertama sehingga ada korelasi pemilihan Baghdad sebagai salah satu destinasi wisata warga Inggris pada waktu itu.
  3. Altimeter adalah alat yang digunakan untuk mengukur ketinggian altitude. Biasa ditemukan di pesawat. 
  4. Selat Inggris atau dalam karya aslinya disebut Channel, adalah selat di lautan Atlantik yang memisahkan antara Inggris dengan Perancis.
  5. Brighton adalah daerah pinggir pantai di dekat Selat Inggris.
  6. Junkers 88 merupakan pesawat bermesin ganda buatan Jerman yang digunakan ketika perang dunia kedua.
  7. Bombers merupakan istilah untuk pesawat tempur yang digunakan khusus untuk menjatuhkan bom.
  8. Lancester di sini bukan lah nama kota, melainkan jenis pesawat pengebom yang dibuat oleh Inggris dan digunakan saat perang dunia kedua.
  9. Flying Fortresses merupakan jenis pesawat pengebom buatan Amerika pada tahun 1930-an dan digunakan saat perang dunia kedua.
  10. Players adalah rokok pabrikan Inggris yang sampai sekarang masih memproduksi produk-produk tembakan.
  11. Hurricane Fighter merupakan pesawat tempur buatan Inggris seperti Spitfire yang digunakan oleh Royal Air Force saat perang dunia kedua.
  12. RAF atau Royal Air Force merupakan satuan Angkatan Militer Udara Britania Raya.
  13. Air Sadah di sini disebut dalam Bahasa Inggris sebagai "Hard Water". Air Sadah sendiri adalah sebutkan baku dalam Bahasa Indonesia untuk air yang memiliki kandungan mineral yang tinggi.
  14. Air Lunak di sini disebut dalam Bahasa Inggris sebagai "Soft Water". Berbeda dengan Air Sadah, Air Lunak memiliki kandungan mineral yang rendah. Penulis membuat perbandingan jenis air dalam karya ini untuk menunjukkan letak geografis, di mana tingkat kesadahan air bisa bergantung dari letak geografis suatu kota. Dalam karya ini si Perawat menyebutkan mereka berada di Brighton, namun si karakter utama ingat bahwa di Brighton sifat airnya adalah Air Lunak dan bukanlah Air Sadah.
  15. Garde au chien adalah istilah dalam Bahasa Perancis yang diterjemahkan secara literal akan menjadi "Dijaga oleh Anjing", namun bila kita menerjemahkannya secara harfiah ke Bahasa Inggris akan menjadi "Beware of the Dog" dan bila kita terjemahkan secara harfiah ke Bahasa Indonesia akan menjadi "Awas Anjing Galak"
  16. Sayap yang berada di seragam perwira RAF akan menunjukkan pangkat dan dari pasukan mana dia berasal. Lambang sayap ini berguna secara administratif dan taktikal untuk RAF.
  17. DFC atau Distinguished Flying Cross merupakan salah satu jenis penghargaan dari pemerintah Inggris untuk anggota RAF.f

Comments