Mari Bertamasya dan Puisi-Puisi Lain


MARI KITA MENGUCAP SELAMAT TINGGAL

jalanan bergelombang dan ombak-ombak pasang

semua berlomba mencari kewarasan

yang susah dinalar dari kota kita


satu per satu mereka menyebrang

entah sampai kapan

entah menuju ke mana

entah apakah akan pulang


dan mereka mereka

yang tertinggal

hanya terlupakan


perlahan


untuk selamanya

- Kota Bengkulu, 2025


APAKAH KITA AKAN PUNAH?

apakah kita akan punah?

pohon-pohon sawit itu bersujud

monyet-monyet itu bersujud


apakah kita akan punah?

jalanan yang kosong

saku celana yang bolong


apakah kita akan punah?

kita yang terbawa

hutan yang terbuka


monyet-monyet itu mengenal jalanan aspal sekarang

apakah monyet akan punah?

- Kota Bengkulu, 2025



LUBANG TELINGA

di masjid yang suram itu, aku berhenti menanam padi dan berharap suara adzan masuk ke lubang telingaku lagi. 

- Sleman, 2025


DI RUANG TUNGGU

muka-muka lelah berjalan berjajar

memasuki celah-celah

berdesak-desakan dan berbagi bau keringat

kemana kita akan berlabuh

di antara kepastian-kepastian yang masih diperjudikan?

- Jakarta, 2025



MARI BERTAMASYA

1.

kapal-kapal pergi mengejar matahari

dan kita menanti arti di setiap pagi


2.

lautan dan langit biru di seujung dunia

kita menatap lemah ke arah pantai panjang

dan perlahan pasir-pasir terbawa angin

menggumpal dan berlarian bersama


hidup-hidup lah bersama katanya

tapi satu per satu dari kita saling meninggalkan

lalu apa guna hidup kita selama masa lalu ini


3. 

ruang ini tak terjamah waktu

katamu sambil menyodorkan secangkir tuak

mataku menjelajah, tapi apa guna

semuanya sudah membeku membisu


hanya kita berdua terpaku di sini

kamu bisa menghirup keresahanku, katamu

aku hanya takut tertinggal kehidupan, kataku


kamu mendekat dan berkata tanpa jeda:

tak semua tempat berjalan dengan waktu

dan kita membeku bersama waktu

di ruang ini, bersama, selamanya


4.

telinga-telinga yang mengembang

menuju pilar-pilar jembatan

jalan-jalan ini dulu gulita

dan monyet-monyet itu suka memanjat tiap sisi jembatan


air matanya sudah habis sepanjang jalanan ini

tapi hidup masih perlu berlanjut

dan roda-roda itu pun tetap dia dorong

dalam gegap gempita gelap jalanan

dalam kolam darah


5.

menjelang pagi

muka-muka letih itu pulang

menuju daratan dari gulita laut

mengharap senyum tanpa nestapa

dari yang mereka cinta


- Kota Bengkulu, 2025

Comments