![]() |
https://picryl.com/media/william-turner-dannat-spanish-girl-making-cigarettes-ngm00401-national-museum-282b8b |
Dia memiliki payudara besar, kaki ramping dan mata biru. Itulah yang aku ingat darinya. Aku tidak tau kenapa aku tergila-gila dengannya, aku mencintainya, dan pada awalnya, yang ku maksud adalah hari pertama, satu jam pertama, semuanya baik-baik saja; lalu Clara kembali ke kota dimana dia berasal, di selatan Spanyol (dia sedang berlibur di Barcelona), dan semua mulai hancur berhamburan.
Satu malam aku bermimpi tentang seorang malaikat: aku berjalan ke sebuah bar besar yang kosong dan melihatnya duduk di pojokan dengan sikunya berada di atas meja dan segelas kopi susu di hadapannya. Dia adalah cinta sejatimu, kata malaikat itu, dia menatapku, dan dengan kekuatan tatapannya, api di matanya, dia menghempaskanku ke seberang ruangan. Aku mulai berteriak, “Pelayan! Pelayan!”, lalu aku membuka mataku dan berhasil terbangun dari mimpi. Malam lainnya aku tidak bermimpi tentang siapa pun, tapi aku bangun dengan air mata di pipiku. Sementara itu, Clara dan aku saling menulis surat satu sama lain. Surat-suratnya singkat. Hai, apa kabarmu, di sini hujan, aku mencintaimu, selamat tinggal. Awalnya surat-surat itu menakuti ku. Tapi sekarang semua sudah selesai, pikirku. Namun, setelah aku baca lebih teliti, aku menyimpulkan bahwa surat-suratnya yang singkat adalah cara Clara untuk menghindari kesalahan gramatika. Clara orang yang bangga dengan dirinya sendiri. Dia tidak bisa menulis dengan baik, dan dia tidak mau menunjukkannya, meski itu berarti melukaiku dengan terlihat sangat sinis dan dingin.
Dia berumur 18 waktu itu. Dia keluar saat sekolah menengah dan melanjutkan belajar musik di akademi swasta, dan melukis dengan seorang pensiunan pelukis lanskap, tapi dia tidak terlalu tertarik dengan musik, dan juga dengan melukis: dia menyukainya, tapi tidak memiliki semangat yang mendalam pada keduanya. Suatu hari, aku menerima sepucuk surat yang memberitahuku, tentunya dengan gaya singkatnya seperti biasa, bahwa dia akan mengikuti kontes kecantikan. Responku, yang kubalas dengan 3 halaman bolak-balik, adalah pujian berlebihan terkait kecantikannya yang anggun, manisnya kedua bola matanya, kesempurnaan yang ada pada dirinya, dll. Surat itu adalah kemenangan dari selera yang buruk, dan ketika aku menyelesaikannya, aku berpikir apakah aku harus mengirimnya atau tidak, tapi pada akhirnya aku kirim juga.
Beberapa minggu sudah berlalu dan aku tidak mendengar apapun darinya. Aku seharusnya menelponnya, tapi aku tidak ingin mengganggu, dan pada waktu itu juga aku tidak punya uang. Clara berhasil menjadi juara kedua dalam kontes itu dan depresi selama seminggu. Mengejutkannya, dia mengirimku telegram, yang berbunyi, “JUARA DUA. TITIK. TERIMA SURATMU. TITIK. DATANG DAN TEMUI AKU.”
Seminggu setelahnya aku menaiki kereta menuju ke kota di mana dia tinggal, kereta pertama pada hari itu. Sebelum itu, tentu maksudku setelah telegram yang kuterima, kami berbicara di telepon, dan aku mendengar cerita tentang kontes kecantikan beberapa kali. Kontes itu memiliki dampak besar untuk Clara ternyata. Aku menyusun tasku, secepat yang kubisa, naik kereta, dan di pagi harinya aku sudah berada di sana, kota yang tidak familiar. Aku sampai di apartemen Clara pukul setengah sepuluh, setelah menyesap secangkir kopi di stasiun dan menghisap beberapa batang rokok untuk membunuh waktu. Seorang wanita gendut dengan rambut berantakan membukakan pintu, dan ketika aku bilang aku datang untuk bertemu Clara, dia melihatku seperti melihat seekor kambing yang siap disembelih. Untuk beberapa menit (pada waktu itu sepertinya terlihat sangat lama, dan ketika aku pikir ulang lagi setelahnya, aku menyadari ternyata memang sangat lama), aku duduk dan menunggu Clara di ruang tamu, ruang tamu yang terasa ramah, tanpa alasan spesial apa pun, sangat berantakan tapi ramah dan memiliki pencahayaan yang cukup. Ketika Clara datang, rasanya seperti kemunculan seorang dewi. Aku tau itu adalah hal yang bodoh untuk dipikirkan dan dikatakan, tapi itulah yang benar-benar terjadi.
Hari-hari setelahnya sangat menyenangkan dan tidak menyenangkan. Kami menonton banyak film, hampir sehari satu film; kami bercinta (aku adalah laki-laki pertama yang tidur dengan Clara, yang sepertinya terdengar tidak penting atau semacam anekdot, dan pada akhirnya aku harus membayar mahal karenanya); kami berkeliling ke sekitar; aku menemui teman Clara; kami mendatangi dua pesta yang buruk; dan aku mengajaknya untuk datang dan tinggal bersama di Barcelona. Tentu dalam fase ini aku tau apa jawaban yang akan dia berikan. Setelah sebulan, aku akhirnya menaiki kereta malam untuk pulang ke Barcelona; aku ingat itu sebagai perjalanan yang buruk.
Tidak lama setelahnya, Clara menjelaskan dalam sepucuk surat, surat terpanjang yang pernah dia kirim untukku, kenapa dia tidak bisa ikut denganku: Aku memberi dia tekanan yang besar (dengan memintanya tinggal bersama); semuanya selesai. Setelah itu, kami berbicara tiga atau empat kali melalui telepon. Aku pikir aku akan menulis sepucuk surat untuknya dengan penuh makian dan ucapan-ucapan cinta. Ketika aku sedang di Maroko, aku menelponnya dari hotel tempatku menginap, di Algeciras, dan pada waktu itu aku berhasil berbicara dengannya secara sopan dan beradab. Setidaknya, dia berpikir kalau itu sopan. Atau aku yang berpikir demikian?
Bertahun-tahun berlalu, Clara menceritakan terkait hidupnya yang telah kulewatkan. Dan lalu, beberapa tahun setelahnya, dia dan teman-temannya menceritakan perjalan hidupnya lagi, dimulai dari cerita awal, atau dari poin di mana kami berpisah, karena aku adalah karakter minor, itu tidak begitu memberi perbedaan untuk mereka, atau aku, serius, meskipun sedikit susah untuk mengakuinya. Dan tentunya bisa ditebak, tak lama setelah akhir dari pertunangan kami (aku tau “tunangan” terdengar sangat hiperbola, tapi aku tidak dapat mencari kata lain yang lebih cocok) Clara menikah, dan laki-laki beruntung itu, secara logika, adalah salah satu temannya yang pernah aku temui saat perjalanan pertamaku ke kotanya.
Tapi, sebelum itu, dia memiliki masalah psikologis: dia sering bermimpi tentang tikus-tikus; tiap malam dia akan mendengar tikus-tikus itu di kamarnya, dan selama berbulan-bulan, bahkan beberapa bulan menjelang pernikahannya, dia harus tidur di sofa yang berada di ruang tamu. Aku beranggapan bahwa tikus-tikus itu hilang setelah pernikahannya.
Jadi. Clara menikah. Dan suaminya, suami Clara, mengejutkan semua orang, bahkan dirinya sendiri. Setelah satu atau dua tahun pernikahan, aku tidak yakin, tepatnya, Clara bercerita padaku, tapi aku lupa, mereka berpisah. Perpisahan itu bukanlah perpisahan yang baik-baik saja. Suaminya berteriak, Clara berteriak, dia menampar suaminya, dan suaminya memukulnya hingga rahangnya bergeser. Kadang, ketika aku sendiri dan tidak dapat tidur atau merasa malan menghidupkan lampu, aku memikirkan Clara, yang menjadi juara dua kontes kecantikan, dengan rahangnya yang hampir copot, tidak dapat membenarkan posisi rahangnya sendiri, menyetir ke rumah sakit terdekat dengan satu tangan di kemudi dan satunya lagi menjaga rahangnya agar tidak jatuh. Aku suka menganggapnya lucu, tapi aku tidak bisa merasakan kelucuannya.
Hal yang bisa aku anggap lucu adalah malam pernikahannya. Dia baru saja selesai operasi wasir sehari sebelumnya, jadi aku pikir dia agak grogi. Atau mungkin tidak. Aku tidak pernah bertanya apakah dia bercinta dengan suaminya malam itu. Aku pikir mereka bercinta sebelum operasi. Bagaimanapun juga, apakah itu penting? Semua hal-hal detail ini lebih berbicara tentangku daripada tentang Clara.
Selepasnya, Clara berpisah dengan suaminya satu atau dua tahun setelah pernikahannya, dan mulai belajar. Dia tidak dapat masuk ke universitas karena dia tidak menyelesaikan sekolah menengahnya, tapi dia mencoba hal lain: fotografi, melukis lagi (aku tidak tau kenapa, tapi dia selalu beranggapan dia pelukis yang bagus), musik, menulis, dan semua diploma satu tahun yang diambil yang seharusnya memberikan kesempatan untuknya bekerja, seperti kebanyakan anak muda putus asa yang selalu mencoba dan gagal. Dan meskipun Clara bahagia dapat berpisah dari suaminya yang tukang pukul, jauh di dalam dirinya, dia merasa putus asa.
Tikus-tikus itu kembali dan depresi, dan juga penyakit-penyakit misterius. Selama dua atau tiga tahun Clara dirawat karena maaf, sampai akhirnya dokter-dokter menyadari bahwa tidak ada yang salah, setidaknya dari perutnya. Pada waktu ini lah Clara bertemu Luis, seorang eksekutif; mereka berpacaran, dan dia membujuk Clara untuk belajar terkait administrasi bisnis. Menurut teman-teman Clara, dia akhirnya bertemu cinta sejatinya. Tak lama kemudian, mereka tinggal bersama; Clara mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan, sebuah firma hukum atau semacam agensi, pekerjaan yang menyenangkan, kata Clara, tanpa satu pun petunjuk yang mengarah ke hal ironis, dan hidupnya nampak baik-baik saja, waktu itu. Luis adalah lelaki sensitif (dia tidak pernah memukul Clara), dan berbudaya (dia, yang ku percaya, adalah satu dari dua juta orang Spanyol yang dapat membeli semua karya Mozart meskipun nyicil), dan sabar juga (dia mendengarkan Clara, dia mendengarkannya setiap malam dan juga di akhir pekan). Clara tidak banyak berkata terkait dirinya, tapi dia tidak pernah lelah menceritakan Luis. Dia tidak pernah membahas kontes kecantikan lagi, meski kadang dia membahasnya beberapa kali; sekarang dia selalu membahas masa-masa depresinya, ketidakstabilan mentalnya, dan gambar-gambar yang ingin dilukis tapi belum dilakukannya.
Aku tidak tahu kenapa mereka tidak memiliki anak; mungkin mereka tidak memiliki waktu, meski menurut Clara, Luis sangat suka anak-anak. Dia biasanya menghabiskan waktu untuk belajar, mendengarkan musik (Mozart, tapi komposer lain juga), dan mengambil foto, yang mana tidak pernah diperlihatkan ke orang lain sama sekali. Dengan caranya yang kabur dan tidak bermakna, dia ingin mempertahankan kebebasannya, mencoba untuk belajar.
Di umurnya yang ke tiga puluh satu, dia tidur dengan lelaki dari kantornya. Itu terjadi begitu saja, bukan masalah besar, setidaknya bagi Clara dan lelaki itu, tapi Clara membuat kesalahan dengan bercerita ke Luis. Pertengkaran pun tidak bisa dielakkan. Luis melempar kursi atau lukisan yang dia beli, mabuk-mabukan, dan tidak berbicara dengannya sebulan. Menurut Clara, setelah hari itu, tidak ada yang sama lagi, terlepas usaha mereka berbaikan, terlepas perjalanan ke kota di pesisir, sebuah perjalanan yang malah terasa sedih dan kosong, semuanya berubah.
Saat umurnya tiga puluh dua, kehidupan seksualnya sudah tidak ada lagi. Sebentar kemudian dia sudah berumur tiga puluh tiga, Luis berkata kalau dia mencintainya, dia menghormatinya, dia tidak akan pernah melupakannya, tapi dalam beberapa bulan terakhir dia berhubungan dengan seseorang dari kantornya, seorang janda dan memiliki anak, wanita yang baik dan memahaminya, dan dia berencana untuk pergi dan tinggal dengan wanita itu.
Di permukaan, Clara dapat melewati perpisahan itu baik-baik saja (ini kali pertama seseorang meninggalkannya). Tapi beberapa bulan kemudian dia jatuh lagi dalam depresi dan tidak bekerja untuk beberapa waktu untuk melakukan perawatan psikiatris, yang mana tidak membantu banyak. Obat yang dia dapat menghambatnya secara seksual, meski dia mencoba berbagai upaya namun tidak menghasilkan kepuasan sedikitpun dengan tidur bersama beberapa laki-laki, dan salah satunya adalah aku. Dia mulai berbicara tentang tikus-tikus itu lagi; mereka tidak mau meninggalkannya sendiri. Ketika dia gugup, dia akan bolak-balik ke kamar mandi. (Malam pertama kami tidur bersama, dia harus pipis sepuluh kali.) Dia menceritakan dirinya dari sudut pandang orang ketiga. Bahkan, dia pernah bilang padaku kalau ada tiga Clara dalam dirinya: gadis kecil, nenek tua yang diperbudak keluarganya, dan wanita muda, Clara yang asli, Clara yang ingin pergi dari kota itu selamanya, Clara yang ingin melukis, dan mengambil foto, dan bepergian, dan hidup. Beberapa hari pertama setelah kami bersama lagi, aku takut akan hidupnya. Sesekali aku tidak ingin pergi belanja karena aku takut saat pulang aku akan menemukannya mati, tapi setelah hari demi hari berlalu ketakutanku pun secara perlahan hilang, dan aku menyadari (atau mungkin mencoba menyakinkan diriku) kalau Clara tidak akan bunuh diri; dia tidak akan loncat dari balkon apartemennya, dia tidak akan melakukan apa-apa.
Tidak lama setelah itu, aku meninggalkannya, tapi waktu ini aku yang memilih untuk menelponnya lebih sering dan tetap bertukar kabar dengan salah satu temannya, yang bisa menggantikan kehadiranku (setidaknya untuk sekarang dan waktu itu). Ini adalah bagian dimana akan lebih mudah untukku tidak mengetahui beberapa hal, cerita-cerita yang tidak membantu pikiranku tenang, berita-berita yang harusnya bagi seorang egotist hindari.
Clara kembali bekerja (obat-obatan baru yang dia minum membantu jauh dalam penampilannya), dan, tak lama kemudian, pihak manajemen, mungkin untuk membayar karena dia sudah tidak bekerja cukup lama, memindahkannya ke salah satu cabang di Andalusia, ya memang tidak terlalu jauh. Dia pindah, mulai pergi ke gym (umur tiga puluh empat dia tidak secantik ketika aku mengenalnya saat tujuh belas), dan memiliki beberapa teman baru. Di sana lah dia bertemu Paco, seorang duda, dia menyukai Clara.
Tak lama kemudian, mereka menikah. Awalnya, Paco akan memberitahu siapa saja tentang pendapatnya terkait foto-foto dan lukisan-lukisan Clara. Dan Clara pikir bahwa Paco orang yang pintar serta memiliki selera yang bagus. Setelah waktu berlalu, Paco tidak tertarik lagi dengan usaha estetika Clara dan ingin memiliki anak. Clara berumur tiga puluh lima dan pada awalnya dia tidak terlalu yakin dengan ide itu, tapi dia setuju dan mereka memiliki seorang anak. Menurut Clara, anaknya memuaskan semua kerinduan yang dia pendam, kata-kata itu yang setidaknya dia pakai. Menurut teman-temannya, kondisinya semakin memburuk, apa pun itu artinya.
Pada satu kesempatan, untuk alasan-alasan tidak relevan dalam cerita ini, aku harus menghabiskan malam di kota Clara tinggal. Aku menelponnya dari hotel, memberitahunya aku dimana, dan merencanakan bertemu esok hari. Aku lebih memilih menemuinya malam itu, tapi setelah pertemuan terakhir kami, Clara menganggapku, dan mungkin dengan alasan yang baik, seperti seorang musuh, jadi aku tidak menuntut.
Dia tidak dapat dikenali. Berat badannya bertambah, dan meskipun berdandan dia nampak sangat lusuh, bukan karena umur melainkan karena frustasi, dan yang mengejutkanku, aku tidak pernah berpikiran bahwa Clara memiliki cita-cita apa pun itu. Dan ketika kamu tidak memiliki cita-cita, bagaimana bisa kamu frustasi? Senyumnya sudah melalui beberapa perubahan. Sebelumnya, senyumnya selalu hangat dan sedikit bodoh, senyum wanita muda dari daerah, tapi sekarang berubah menjadi kejam, senyum yang menyakitkan, dan sangat mudah untuk membaca kebencian, amarah, dan rasa isi di baliknya. Kami mencium pipi masing-masing seperti sepasang idiot dan lalu duduk; untuk sementara waktu kami tidak tahu harus berbicara apa. Aku yang memecah keheningan. Aku bertanya terkait anaknya; dia memberitahuku kalau anaknya berada di penitipan, dan lalu dia bertanya tentang anakku. Dia baik-baik saja, jawabku. Kami berdua menyadari bahwa, kecuali kami melakukan sesuatu, pertemuan itu akan berjalan sangat amat menyedihkan. Bagaimana rupaku? Clara bertanya. Pertanyaan itu seperti melihatnya memintaku menampar wajahnya. Sama seperti biasanya, jawabku singkat. Aku ingat kami meminum kpi, lalu berjalan di sekitar jalan yang dipenuhi dengan pohon-pohon Plane, yang mengarah ke stasiun. Keretaku sebentar lagi berangkat. Kami berpisah di pintu stasiun, dan itu kali terakhir aku melihatnya.
Kami, entah bagaimana, berbicara di telepon sebelum dia mati. Aku biasanya menelponnya tiga atau empat bulan sekali. Aku belajar dari pengalaman untuk tidak membahas hal personal atau intim (seperti berbicara tentang olahraga dengan orang asing di bar), jadi kami lebih sering berbicara tentang keluarganya, dimana percakapan itu akan menjadi abstrak seperti puisi-puisi kubisme, atau sekolah anaknya, atau pekerjaannya; dia masih bekerja di perusahaan yang sama, dan seiring berjalannya tahun dia sudah mengetahui semua tentang kolega-koleganya beserta kehidupan mereka, dan semua permasalahan yang dimiliki oleh para eksekutif, rahasia-rahasia itu memberinya kesenangan yang intens dan mungkin berlebih. Pada suatu kesempatan, aku mencoba agar dia berbicara mengenai suaminya, tapi dia tetap diam. Kamu berhak mendapat yang terbaik, kataku padanya. Itu aneh, jawab Clara. Apa yang aneh? Tanyaku. Aneh karena kamu mengatakan itu, kamu dari semua orang yang ku kenal, katanya. Aku secepatnya mencoba merubah subjek pembicaraan, dan berdalih bahwa aku kehabisan koin (aku tidak pernah memiliki jaringan telepon, dan tidak akan pernah. Aku selalu menelpon dari telepon umum), bergegas mengucap selamat tinggal, dan menutup telepon. Aku sadar aku tidak dapat beradu argumen dengan Clara; aku tidak tahan mendengarnya mencari-cari pembenaran yang tiada henti.
Suatu malam tidak lama setelah itu, dia bilang kepadaku bahwa dia mengidap kanker. Suaranya dingin seperti biasanya, suara yang dia pakai untuk menceritakan hidupnya dengan cara pendongeng yang buruk, memberi tanda seru di tempat yang salah, dan melewati bagian-bagian yang seharusnya diceritakan, bagian-bagian dimana harusnya dapat disingkat lebih cepat. Aku ingat pernah bertanya kepadanya apakah dia sudah menemui dokter (atau bantuan dari Paco), sebagaimana dia mendiagnosis dirinya sendiri dengan kanker. Tentu saja, katanya. Dari balik telepon aku mendengar suara. Dia tertawa. Kami berbicara singkat tentang anak-anak kami, lalu (dia pasti merasa kesepian atau bosan) dia memintaku bercerita sesuatu tentang hidupku. Aku langsung mengarang sesuatu, dan berjanji akan menelponnya lagi minggu depan. Malam itu aku susah sekali untuk tidur. Aku mendapat mimpi buruk setelah mimpi buruk lain, dan terbangun tiba-tiba, berteriak, meyakinkan diriku sendiri kalau Clara berbohong: dia tidak terkena kanker; sesuatu pasti terjadi kepadanya, pasti, semua yang terjadi kepadanya selama dua puluh tahun terakhir, masalah-masalah pelik, semua masalah dan senyum, tapi dia tidak mengidap kanker. Waktu itu pukul lima pagi. Aku bangun dan berjalan menuju Paseo Maritimo, dengan angin yang berhembus di punggungku, terasa aneh, karena angin biasanya berhembus dari laut, dan jarang sekali dari arah berlawanan. Aku tidak berhenti sampai aku melihat telepon umum di dekat cafe terbesar di Paseo. Terasnya kosong, kursi-kursi masih dirantai di meja-meja. Agak dekat dari situ, sebelah lauh, ada tunawisma tidur di bangku jalan, dengan lututnya yang meringkuk, dan sesekali dia gemetar, sepertinya dia mendapat mimpi buruk.
Aku tidak memiliki nomor lain lagi di buku alamatku selain satu nomor dari kota dimana Clara tinggal. Aku menelponnya. Setelah beberapa lama, seorang wanita mengangkat telepon. Aku memperkenalkan diri, tapi tiba-tiba aku tidak dapat berkata apa-apa. Aku pikir dia akan menutup teleponnya, tapi aku mendengar suara korek api dan asap yang mengepul dari mulutnya. Kamu masih di sana? Tanya wanita itu. Ya, jawabku. Apakah kamu sudah bicara dengan Clara? Ya, jawabku. Apakah dia memberitahu kalau dia terkena kanker? Ya, jawabku. Yap, itu benar.
Bertahun-tahun mengenal Clara tiba-tiba semuanya terasa runtuh dari angan-anganku, semua yang telah terjadi dalam hidupku, kebanyakan memang tidak ada sangkut pautnya dengannya. Aku tidak tahu lagi apa yang wanita itu bicarakan dari balik telepon, ratusan kilometer jauhnya; aku pikir aku mulai menangis lepas dari diriku sendiri, seperti puisi Ruben Dario. Aku merogoh kantongku mencari rokok, mendengarkan beberapa potongan cerita: dokter, operasi, mastektomi, diskusi, beberapa sudut pandang yang berbeda, deliberasi, dan aktivitas Clara yang tidak aku tahu atau sentuh atau bantu, tidak sekarang.
Ketika aku menutup telepon, tunawisma itu tiba-tiba berdiri lima kaki dariku. Dia sangat tinggi, berpakaian cukup hangat untuk musim seperti ini, dan dia menatapku, memicingkan mata seperti orang rabun jauh, atau malah takut tiba-tiba aku melakukan sesuatu. Aku sangat sedih karena kau tidak merasakan takut, meski setelahnya, ketika aku berjalan melewati lika-liku jalanan di tengah kota, aku menyadari bahwa bertemu tunawisma itu membuatku lupa terhadap Clara seketika, untuk kali pertama, dan hanya sekali.
Kami lebih sering berbicara melalui telepon setelah itu. Kadang aku menelponnya seminggu dua kali. Percakapan kami singkat dan bodoh, dan tidak pernah ada cara untukku mengutarakan apa yang ingin aku sampaikan, jadi aku bicara apa saja, hal-hal pertama yang muncul di kepalaku, hal-hal konyol yang ku harap dapat membuatnya tersenyum. Suatu kali, aku menjadi sentimental dan mencoba mengenang hari-hari yang sudah berlalu, tapi Clara malah mengenakan baju zirah esnya, dan aku pun segera paham apa maksudnya, lalu menyerah dalam nostalgia. Tanggal operasi makin dekat, aku lebih sering menelponnya. Pernah sekali aku berbicara dengan anaknya. Kadang dengan Paco. Mereka berdua terlihat baik-baik saja, mereka berdua terdengar baik-baik saja, setidaknya tidak segugup aku. Meski mungkin asumsiku bisa jadi salah. Tentunya pasti salah, secara fakta. Semua orang khawatir denganku, Clara pernah berkata begitu pada suatu siang. Aku pikir yang dia maksud adalah suami dan anaknya, tapi “Semua orang” termasuk banyak orang-orang, dan lebih dari yang bisa aku bayangkan, benar-benar semua orang. Sehari sebelum dia pergi ke rumah sakit, aku menelponnya siang hari. Paco menjawab telepon itu. Clara tidak di sana. Tidak ada yang melihat dan mengetahui di mana dia selama dua hari. Dari nada suara Paco aku merasakan kalau dia curiga bahwa mungkin Clara bersamaku. Aku langsung berkata padanya, dia tidak di sini, tapi aku benar-benar berharap sepenuh hati kalau dia akan datang ke apartemenku. Aku menunggunya dengan lampu menyala, dan akhirnya tertidur di sofa, dan bermimpi tentang seorang wanita yang sangat cantik, dan wanita itu bukanlah Clara: tinggi, ramping, dengan payudara mungil, kaki semampai, dan mata cokelat yang dalam, yang tentu bukan dan jelas tidak mungkin Clara, wanita yang kehadirannya menghapus Clara, membuatnya nampak seperti wanita berumur empat puluhan yang lusuh, tersesat dan ketakutan.
Dia tidak datang ke apartemenku.
Hari berikutnya aku menelpon Paco. Dan dua hari setelahnya aku menelpon lagi. Tidak ada tanda-tanda Clara. Kali ketiga aku menelpon Paco, dia bercerita terkait anaknya dan menggerutu tentang kelakuan Clara. Setiap malam aku berpikir dimana dia berada, katanya. Dari suaranya dan bagaimana jalan percakapan berubah, aku bisa beranggapan kalau apa yang dia butuhkan dariku, atau seseorang, siapapun itu, adalah pertemanan. Tapi aku sedang tidak dalam keadaan yang bisa memberikannya pertemanan itu.
Catatan:
- Roberto Bolano merupakan seorang penulis novel, cerpen, puisi serta essai dari Chile. The New York Times pernah menyebutnya sebagai "Suara literirasi Latin Amerika paling signifikan pada generasinya."
Comments
Post a Comment