Kecintaan Terhadap Hal Remeh Temeh

rawpixel.com
source : rawpixel.com

Ketika kemarau datang di Jogja, mendadak malam adalah waktu di mana semuanya bergerak secara lambat. Suhu yang turun dan angin malam yang dingin adalah sebuah hal yang wajar sepanjang musim kemarau. Curah hujan akan turun drastis dan langit malam akan cerah. Aku masih teringat salah satu percakapan dari anime yang pernah ku tonton tapi aku lupa judulnya. Di sana si teman karakter utama berkata, “Bintang-bintang terlihat angkuh saat musim panas.” Meski di Indonesia tidak memiliki musim panas, namun aku setuju bahwa langit malam kemarau juga menunjukkan keangkuhan bintang-bintang. Mereka yang bersinar, dingin di atas dan kami yang mengamini keindahannya.

Malam akan berjalan sangat panjang. Jogja yang merupakan persinggahan banyak orang pun tidak terlelap secepat itu. Banyak roda-roda kehidupan yang terus berjalan sambil memangkas waktu. Salah satu tempat-tempat di mana malam sangatlah hidup adalah warung kopi. Jogja kini adalah daerah sejuta warung kopi. Dari Sleman ke Bantul dan bahkan Gunung Kidul ke Kulon Progo, warung kopi menjamur sebagaimana waktu yang terus berlalu.

Aku yang lebih dari satu dekade sudah tinggal dan bermukim di sini pun mengamini bahwa kehidupan petang Jogja tidak akan pernah jauh-jauh dari warung kopi, obrolan remeh temeh, dan angin kemarau dingin yang membuat masuk angin. Aku bisa menghabiskan berjam-jam hanya duduk dan membaca buku di warung kopi, atau hanya berdiskusi terkait kemungkinan konspirasi dunia di mana sebenarnya kita hidup di atas punggung kura-kura yang melayang di antariksa bersama beberapa kawan saya. Warung kopi adalah terminal kehidupan, bagi mereka yang muda, namun tidak menolak para generasi tua bermukim di dalamnya.

Ini hari jumat, dan aku sudah mengurung diri selama 5 hari di dalam rumah sendiri tanpa keluar maupun berinteraksi dengan siapa pun. Aku butuh menghirup udara malam. Maka ku putuskan selepas shift kerja, aku akan mampir ke Ada Sarang, salah satu nama warung kopi yang jaraknya cukup dekat dari rumahku. Aku memesan secangkir kopi dan akhirnya lelap dalam Kota Tanpa Masa Lalu karya Albert Camus. Setelah sekitar 45 menit menghabiskan waktu dalam tulisan Albert Camus, aku melamun sambil menatap kosong ke arah depan. Aku duduk di lantai dua. Di bawahku persis aku melihat taman dan beberapa pohon yang diterangi dengan lampu-lampu kuning yang berpendar. Aku berpikir, cahaya lampu itu semacam pewarna makanan yang membuat nuansa taman menarik. Di tengah lamunanku, aku melihat tikus got, agak besar, berlari di sela-sela parit dan pohon. Mungkin tikus got itu ketakutan ditemukan oleh pegawai warung kopi ini. Aku tertawa sebentar. Menaruh buku, dan coba memeriksa sekitar.


Dari kursi, aku menoleh ke kanan dan kiri. Melihat banyak pengunjung yang seumuran atau bahkan lebih muda dariku sedang menikmati malamnya di warung kopi ini. Samar-samar aku mendengar obrolan mengenai tugas kuliah dari segerombolan mahasiswa di sisi kiriku. Aku juga melihat kecanggungan sejoli di sebelah kiriku. Dan yang tidak kalah menarik adalah obrolan kurator seni yang membahas lukisan yang akan dipamerkan karena warung kopi ini juga jadi satu dengan galeri seni. Semua aku lihat dengan seksama. Aku memiliki sebuah kesenangan tersendiri ketika melihat orang-orang di sekitarku dan menerka latar belakang mereka masing-masing. Aku akan mengamati mereka dan lalu membuat sekian banyak skenario di kepalaku tentang latar belakang dan asal-usul mereka. Kegiatan remeh temeh ini akan membuatku bahagia sesaat dan bahkan terpingkal secara tiba-tiba. 


Setelah puas mengamati sekitar tiba-tiba aku mulai berpikir, kenapa aku bisa tertawa dan bahagia dengan hal remeh temeh. Dalam beberapa menit aku tersenyum melihat tikus got berlarian, kemudian aku juga tertawa membuat skenario fiktif terkait orang-orang di sekitarku, bahkan masih banyak hal remeh temeh yang aku senangi. Aku suka menertawakan Manchester United ketika mereka kalah, aku suka menghabiskan bensin sambil mengendarai motor tuaku keliling tanpa arah tujuan yang jelas, aku suka memberi makan kucing liar, aku suka membuat mie instan dengan mie yang masih setengah matang, dan masih banyak hal remeh temeh lain yang membuatku bahagia, tersenyum, dan tertawa. 


Dari sini aku mulai berpikir bahwa sebenarnya hidup yang berat ini, hidup yang kita jalani secara keras ini, memiliki kesederhanaannya sendiri. Memiliki waktu barang beberapa menit untuk menikmati hal-hal absurd yang membuatmu bahagia meski sesaat menurutku adalah cara yang baik untuk menyeimbangkan tekanan-tekanan yang berada pada pundak kita. Kecintaan terhadap hal remeh temeh ini merupakan keajaiban dari hidup yang rumit. Kesederhanaan yang sebenarnya tidak perlu dicari dan sudah ada di depan mata kita. 




Catatan Kaki

  • Pemilihan judul Kecintaan Terhadap Hal Remeh Temeh berangkat dari esai Albert Camus berjudul Amour de Vivre dan dengan referensi dari Novel Milan Kundera berjudul La fĂȘte de l’insignifiance

Comments