Faizal Fahmi Baelul
Desa kami tentram, nyaman dan sunyi. Selepas pukul 5 sore, kabut mulai turun dan menyelimuti seluruh penjuru desa. Ketika adzan magrib berkumandang, orang-orang bergegas ke surau. Beberapa bapak-bapak akan membawa senter saat menuju surau karena masih ada jalan-jalan desa yang belum mendapat penerangan. Sementara itu anak-anak berlarian sambil sesekali mengibaskan sarung ke pantat temannya yang lain sepanjang jalan menuju surau. Menjelang magrib adalah waktu paling hidup di desa ini. Hampir seisi desa menuju ke satu tempat, berjalan bersama dan bertemu di satu titik.
Bapak pernah bercerita, kalau sebelumnya desa kami adalah desa mati selepas magrib. Dulu penerangan belum seperti sekarang dan listrik amat susah diakses. Satu-satunya listrik hanya ada di Balai Desa dan orang-orang kampung keluar ramai-ramai hanya ketika menonton final turnamen Piala Thomas. Selain acara itu, selepas maghrib yang terdengar hanya suara jangkrik dan dahan-dahan yang ditiup angin. Namun semuanya berubah ketika pak Samsuri datang ke desa kami. Tidak ada yang pernah tau pak Samsuri datang darimana, menurut orang-orang dia salah satu anak Kyai di kota dan diutus ke desa kami untuk berdakwah, ada juga yang bilang dia lari dari kejaran tentara dan berganti nama menjadi Samsuri, bahkan ada yang bilang dia sebenarnya bukan manusia. Namun terlepas sekian banyak versi terkait asal usul pak Samsuri, seluruh warga desa senang dengan kehadiran beliau. Pak Samsuri tinggal di sebuah rumah kecil dekat surau. Rumah itu adalah kepunyaan kepala desa kami. Awalnya pak Samsuri membayar sewa setahun sekali, namun karena kedekatannya dengan kepala desa, beliau sudah dianggap saudara sendiri dan diminta untuk menempati rumah tersebut tanpa perlu membayar sewa. Bapak juga bercerita bahwa surau desa kami dulunya sangat mengenaskan kondisinya. Surau kami tidak mempunyai sumber cahaya, dindingnya hanya dari bilik anyam dan atapnya bocor. Bahkan bapak bilang, untuk menjalankan sholat jumat maupun sholat ied, warga harus turun ke kota mencari masjid terdekat. Namun setelah pak Samsuri datang di desa kami, beliau meminta izin untuk merawat surau tersebut.
Awalnya Pak Samsuri membangun surau kami sendirian. Dia membeli bahan-bahan bangunan dan melakukan renovasi surau kami sendirian. Tidak pernah ada yang tau dari mana Pak Samsuri mendapat uang untuk membeli semua bahan-bahan bangunan, sama seperti tidak ada yang pernah tau asal-usul pak Samsuri sebenarnya. Semua orang hanya mengetahui bahwa beliau adalah orang yang baik dan setiap mereka bercengkrama dengan pak Samsuri, warga merasa sungkan untuk mencari tahu masa lalu pak Samsuri. Melihat kegigihan Pak Samsuri, beberapa warga desa pun akhirnya membantu dengan tenaga mereka secara sukarela dan akhirnya surau kami berdiri dan hidup menjadi pusat keramaian di desa kami. Setiap masuk waktu sholat, pak Samsuri akan selalu mengumandangkan adzan, kemudian warga-warga akan berhenti beraktivitas lalu menuju ke surau. Anak-anak bermain di halaman surau dan ibu-ibu bercengkrama sambil membawa sajadah serta mukena mereka. Tidak ada lagi mempertanyakan siapa itu pak Samsuri, warga hanya menikmati kehangatan interaksi di surau desa kami. Bagi warga, pak Samsuri adalah juru selamat untuk surau mereka yang hampir roboh itu.
***
Aku sedang menghabiskan masa libur lebaranku dengan pulang ke desa. Sudah dua tahun aku tidak pulang ke rumah karena keterbatasan biaya untuk membeli tiket bus dari tempatku berkuliah. Maklum saja, aku berkuliah di provinsi yang berbeda dengan desaku dan di sana aku hanya mengandalkan penghasilan sebagai penjaga warnet. Aku memutuskan menghabiskan libur lebaranku dengan pulang ke desa pun bukan tanpa alasan. Aku merasakan kerinduan yang besar dengan hingar bingar ramadhan di surau desa kami. Sebagai orang yang kini tinggal di kota besar, memang semarak ramadhan desa ku dan kota yang kini aku tempati berbeda jauh. Urusan kemegahan dan kemewahannya, tetap kota jauh lebih meriah. Namun ada satu hal yang hilang dan tak akan pernah tergantikan terhadap suasana ramadhan di surau desaku. Ada kehangatan yang lahir sendiri dari interaksi setiap warganya meski dalam kesederhanaan yang tak semeriah lampu kerlap-kerlip kota. Hal itu lah yang aku rindukan dan ingin aku rasakan kembali.
Sejak dua minggu sebelum lebaran, aku sudah berada di desa. Tiap setelah makan sahur, aku akan berjalan menuju surau bersama teman-teman masa kecilku. Kami saling menghampiri satu sama lain, dari satu rumah ke rumah lain. Seusai sholat subuh, kami akan jalan-jalan susur sungai-sungai yang ada di desa. Menjelang siang aku akan membaca buku di kebun hingga tertidur di bawah pohon jati dan ketika adzan dzuhur berkumandang, aku akan berlari ke surau lagi. Selepas ashar, ibu-ibu akan menyiapkan takjil dan kami para pemuda serta anak-anak bercengkrama di halaman surau sambil menunggu buka bersama dengan warga lain selepas magrib. Dari magrib menuju isya, orang-orang akan pulang ke rumah masing-masing untuk berbuka puasa dan akan menuju ke surau lagi untuk melakukan sholat tarawih berjamaah. Salah satu hal menarik ketika bulan ramadhan di desaku adalah masyarakatnya yang berangkat ke surau untuk sholat tarawih biasanya membawa obor, tidak senter seperti hari-hari biasanya. Obor-obor itu akan dipasang di sekitar surau dengan dudukan yang terbuat dari bambu berbentuk pagar. Ketika sholat isya dan tarawih berlangsung, selama itu juga surau kami dikelilingi cahaya dari api obor yang dibawa warga.
Namun semua berubah di malam ke 20 bulan ramadhan. Selepas berbuka puasa dan warga berbondong-bondong menuju surau sambil membawa obor untuk melaksanakan sholat isya serta tarawih, tiba-tiba terdengar suara ledakan dari arah surau. Bapak-bapak yang sedang berjalan menuju surau lalu berlari ramai-ramai ke arah surau. Ibu-ibu dan anak-anak perempuan mempercepat langkahnya. Surau kami terbakar. Entah dari mana datangnya api, aku yang panik mencoba menelpon pemadam kebakaran. Namun akses pemadam kebakaran di desa kami sulit. Mereka bilang akan sampai sekitar 45 sampai 60 menit karena lokasi yang jauh. Warga bergegas mengambil ember-ember dan selang-selang dari rumah. Semua air yang bisa ditampung diguyurkan ke surau kami. Namun semua nampak sia-sia. Api terlalu besar dan angin terlalu kencang. Air yang kami siram hanya menguap. Ibu-ibu dan anak-anak menangis sambil melihat bapak-bapak serta pemuda mencoba memadamkan api secara susah payah. Akhirnya setelah 50 menit kami berjuang, mobil pemadam datang. Tidak ada sumber air yang memadai sehingga proses pemadaman pun lebih lama dari seharusnya. Tepat pukul 8:30 malam, api berhenti memakan surau kami. Beberapa warga terjatuh kelelahan, termasuk bapak yang sudah berkali-kali membawa ember-ember penuh air untuk memadamkan api.
Di tengah kelelahan dan kesedihan warga, tiba-tiba ada yang meneriakkan nama Pak Samsuri. “Pak Samsuri! Pak Samsuri tidak ada! Pasti dia di dalam surau!” Semua orang mendadak langsung berdiri, tegang dan berharap cemas. Teriakan demi teriakan silih berganti, “Coba cari di rumahnya!”, “Cepat bongkar puing-puing surau!”. Tidak ada yang dapat berpikir jernih di mana Pak Samsuri berada. Setelah satu jam mencoba membongkar puing-puing surau, kami menemukan pak Samsuri. Beliau sudah mati dengan posisi bersujud. Semua orang terdiam. Jasad pak Samsuri dievakuasi oleh petugas pemadam, kami hanya bisa termanggu dan sesenggukan. Surau kami sudah habis dilahap api, dan Pak Samsuri tidak akan pernah kembali lagi.
***
Setelah kejadian itu, desaku menjadi sunyi. Tidak ada lagi adzan berkumandang dari surau kami. Kepala Desa mencoba untuk menghidupkan lagi suasana ramadhan yang tinggal menghitung hari, beliau mencoba membuat balai desa sebagai pengganti surau kami untuk melaksanakan sholat tarawih berjamaah. Namun semua itu sia-sia. Warga tak tertarik melaksanakan sholat di balai desa. Banyak yang merasa semuanya berbeda ketika ada Pak Samsuri. Ada yang berkata bahwa suara adzan pak Samsuri lah yang membawa berkah dan membuat semua orang berbondong ke surau. Namun karena kini pak Samsuri sudah tidak ada lagi bersama mereka, semua panggilan adzan serupa suara samar-samar radio yang lewat begitu saja. Semuanya menjadi sunyi di sisa-sisa ramadhan, tak ada yang sembahyang dan berdoa di surau lagi.
Setelah lebaran itu, aku kembali menyelesaikan kuliahku di luar kota dan lalu lanjut bekerja di kota lain yang lebih jauh lagi dari desaku. Sudah tidak ada lagi yang aku rindukan ketika ramadhan di desaku. Setiap aku pulang merayakan lebaran, aku merasa keheningan yang tidak biasa di desaku. Tidak ada lagi yang hingar bingar di desaku tiap ramadhan hadir, bahkan bertahun-tahun sejak kejadian itu, surau kami tidak pernah dibangun lagi. Bekas bangunannya masih ada, tembok-tembok yang tersisa terbakar masih di sana, dan kesedihan yang dirasakan masih tetap tertinggal. Tidak memudar sama sekali. Awalnya masih ada yang melakukan shalat tarawih di balai desa setelah kejadian itu, namun tahun berlalu, kini tidak ada lagi yang menjalankan tarawih berjamaah di balai desa, atau mungkin malah di seisi desa ku.
Kini aku sudah berkeluarga dan memiliki seorang anak. Anakku berumur 7 tahun, dan memang tiap tahun aku selalu mengajak keluargaku merayakan lebaran di desaku. Jauh dari hiruk pikuk kota dan agar dia bertemu dengan kakek neneknya. Pernah suatu sore di bulan ramadhan, aku mengajak anakku berjalan-jalan keliling desa sambil menunggu waktu berbuka. Aku mengingat masa-masa hangat ramadhan yang sudah lama hilang, menyusuri jalanan yang kini jauh lebih bagus dan penerangan jalan yang lebih memadai. Kami berhenti tepat di depan surau, sedikit lama. Aku terdiam melihat surau, mengingat pak Samsuri. Samar-samar nama beliau sudah tidak dibicarakan setelah bertahun-tahun oleh warga, tapi aku masih mengingat wajahnya dan juga suara adzannya. Aku juga mengingat surau yang dulunya bersih dan selalu dirawat olehnya. Tapi kini namanya menghilang dari ingatan kolektif warga secara perlahan, tidak ada yang membicarakannya lagi, sama seperti warga yang tidak pernah membicarakan asal usul pak Samsuri sebelum datang ke desa. Mungkin memang yang hadir dari ketiadaan juga bisa hilang menjadi ketiadaan juga. Mungkin memang itu takdir pak Samsuri, dia tiba-tiba hadir, memberi arti di desaku, dan pergi tanpa diingat lagi.
Di tengah lamunanku, anakku bertanya, “Itu apa ayah?”, sambil menunjuk ke arah puing-puing surau. Aku tersenyum dan kujawab, “Itu dulu tempat di mana ayah dan semua orang di desa berdoa meminta bersama.” “Terus sekarang kalau kita doa, kita kemana ayah?” Aku terdiam, tidak bisa menjawab. Bahkan mungkin seisi desaku juga tidak bisa menjawab pertanyaan itu juga. Kemana lagi kami harus meminta sekarang?
Comments
Post a Comment