Tanah

The Maze, William Kurelek (1953)


Jalan manusia hanya sebuah kesederhanaan. Kita yang tercipta dari segumpal tanah dengan hembusan roh dari Tuhan dan hidup memakan segala yang ada di Bumi dan lalu mati menjadi satu dalam tanah lagi. Begitu. Berulang. Terus. Hingga berjuta-juta tahun.

Sementara dalam kesederhanaan yang berulang itu, kerap saya memimpikan keindahan lain yang tidak bersifat sistematis. Sebuah keinginan menjadi diri sendiri yang berbeda dengan manusia-manusia lain yang berjalan dengan tatapan kosong di Bumi ini. Sebuah keunikan yang menyatakan bahwa saya adalah saya dan saya tidak seperti orang lain yang hidup dengan segudang kemiripannya. Hingga pada akhirnya kalimat penuh api dari L'Homme Revolte karya Albert Camus menjadi pedoman bagi saya untuk membedakan eksistensi diri dengan sekitar. "Aku memberontak maka aku ada". Iya, saya memberontak untuk menjadi manusia sewajarnya manusia yang dikemas dalam sebuah wadah plastik dengan sebutan "pandangan masyarakat". Saya memberontak menjadi saya yang hanya satu di muka Bumi dan tanpa ada satu orang pun yang membagi secuil pun kemiripannya dengan saya.

Pemberontakan terkait identitas ini yang pada akhirnya merubah jalan hidup serta cara pandang saya. Cara terkait bagaimana harus nampak berbeda. Bagaimana tidak disamakan dengan orang-orang lain. Bagaimana tidak menjadi seragam. Bagaimana tidak menjadi manusia. Hingga pada akhirnya tingkat kewarasan saya terganggu dan saya mulai membenturkan kepala ke tembok. Lagi. Lagi. Dan lagi. Dan lagi. Hanya demi menjadi manusia yang berbeda. Namun tetap saja, saya hanya manusia biasa. Serupa yang lain.

Dan pada akhirnya ketika saya lihat bekas darah yang menetes di tembok kamar, saya hanya bisa melihat warna tanah. Bukan warna darah. Saya hanya mampu melihat warna tanah, bukan warna darah. Warna tanah yang membuat saya membayangkan segumpal tanah. Warna tanah yang membuat saya membayangkan peti jenazah. Dan warna tanah yang mengingatkan saya pada makam dan peziarah. Maka saya ambil teropong dari lemari hati dan saya sambut warna tanah itu dengan menaiki tugu tertinggi di kota ini. Mata saya melotot dari lensa teropong mengamati tiap-tiap manusia yang ada di Bumi ini. Satu per satu. Lalu kemudian saya mengamati tiap makam, para jenazah, dan juga peziarah. Tanpa satu pun yang terlewatkan. Kemudian saya berpikir, bahwa kita hidup dari tanah dan kembali ke tanah. Lalu mengapa harus susah-susah menjadi saya jika pada akhirnya semua manusia adalah saya. Satu tanah yang sama yang akhirnya akan menjadi tanah yang sama pula. 

Dengan kelegaan atas hal surealis dalam otak kerdil ini, saya pulang dengan hati seluas lapangan sepak bola. Saya buka rongga dada dan saya ambil jantung hati. Dan lalu saya tanam ia di Yogyakarta. Kota di mana malam selalu panjang hingga angan-angan dan mimpi tak akan pernah bangun. Hingga saya yang kini menjadi saya yang nanti. Hingga saya yang ingin menjadi saya hanya segumpal debu yang menjadi penghias kubur. Hingga saya yang ingin menjadi bulan di tengah bintang menjadi saya yang ingin menjadi tanah lalu mati.

_________________________________________________________________________________

  • Esai singkat ini saya tulis pada tahun 2018 setelah saya meyakinkan diri atas pilihan hidup yang abu-abu dan benar-benar kabur pada masa itu. Tahun-tahun di mana saya mencoba sepenuhnya keluar dari penyakit mental saya dan mencoba membuka diri saya secara seutuhnya ke masyarakat. Pada waktu itu, kehidupan saya hanya berkutat dengan melahap karya-karya surealisme magis dan realisme magis sehingga bentuk dan struktur esai ini dipengaruhi secara kuat dari jenis-jenis karya surealisme magis amerika latin.


Comments