Djembatan Gondolaju : Sebuah Eksperimen Teater yang Perlu Dibicarakan


Mungkin kegemaran mencampurkan banyak hal menjadi sesuatu yang baru merupakan warisan dari nenek moyang kita yang secara sadar maupun tidak masih kita jaga hingga detik ini. Ambillah contoh di mana gaya arsitektur keraton Yogyakarta merupakan perpaduan nyata dalam mencampur gaya arsitektur Eropa dan Jawa. Ini pun tidak lepas setelah perjanjian Giyanti di mana Sri Sultan Hamengkubuwono I menjalin kerja sama dengan VOC dalam pembangunan keraton dan juga benteng Vredeburg. Setelah sekian tahun berlalu, kini banyak kita jumpai eksperimen-eksperimen lain dalam mencampurkan banyak hal ini menjadi makin sering kita temui. Dari bentuk makanan hingga kesenian, hampir semua bidang kehidupan kita telah mengalami bentuk eksperimen dengan mencampurkan dua atau lebih hal yang berlawanan untuk menciptakan hal baru.
                
Hal ini lah yang akan ditemui dalam pementasan “Djembatan Gondolaju” yang dipentaskan pada 17 Juli 2019 dalam rangkaian acara Festival Kebudayaan Yogyakarta 2019 (FKY 2019). Ghozali, selaku kurator dalam pementasan teater FKY tahun ini mencoba melakukan eksperimen dengan menyuguhkan metode penciptaan baru dalam dunia teater Yogyakarta. Mempertemukan Suharyoso yang merupakan salah satu sutradara teater senior di Yogyakarta dan memiliki latar belakang akademisi dalam bidang teater dengan Agnes Christina, sutradara teater yang baru beberapa tahun menetap di Yogyakarta dan juga belum mengenal dunia teater Yogyakarta. Suharyoso atau yang akrab dipanggil pak Yos merupakan representasi seniman teater tua sedangkan Agnes akan mewakili kalangan seniman teater muda dalam mengeksekusi naskah Djembatan Gondolaju yang ditulis oleh Nasjah Djamin pada periode tahun 50-an ini.

“DJEMBATAN GONDOLAJU” DALAM PERSPEKTIF PEMENTASAN
                
“Djembatan Gondolaju” sendiri memiliki polemik tersendiri sebagai sebuah naskah teater. Pada awal munculnya naskah ini, banyak kritikus-kritikus beranggapan bahwa naskah karya Nasjah Djamin ini tidak realistis untuk dipentaskan. Bahkan dari beberapa naskah yang pernah ditulis oleh Nasjah Djamin, naskah inilah yang terbilang langka dipentaskan hingga kini.
Pemuda membujuk Karni untuk meninggalkannya sendiri.
                
Terlepas dari segala kritik yang menyelimuti naskah ini, Motingo Boesje pada tahun 1960 telah menulis esai panjang dengan sekian banyak premis terkait mengapa sebenarnya naskah ini masuk akal untuk dipentaskan.  Ghozali, dalam pembacaannya dan pengintepretasiannya terhadap esai Motingo Boesje ini akhirnya makin meyakini bahwa pemilihan naskah “Djembatan Gondolaju” merupakan kendaraan yang tepat dalam eksperimen pementasan teater FKY tahun ini. Sesuai tema FKY 2019 yang mengusung semangat MULANIRA, harapannya pementasan “Djembatan Gondolaju” ini juga melahirkan bentuk baru yang makin memperkaya khazanah teater Yogyakarta.

EKSPERIMEN LINTAS MASA
                
Pementasan kali ini akan disutradarai oleh dua sutradara yang memiliki latar belakang berbeda namun tetap akan mementaskan satu bentuk pertunjukan baru. Pemilihan pak Yos dan Agnes sebagai sutrada pun berangkat dari eksperimen memadukan dua sisi pencipta pertunjukan dengan latar belakang masa yang berbeda. Dalam prosesnya, pak Yos serta Agnes telah melakukan diskusi lebih lanjut terkait bagaimana dan apa yang akan ditampilkan pada pementasan ini.
                
Perbedaan generasi pun menjadi salah satu segi yang menarik untuk disinggung dalam proses penciptaan kali ini. Agnes dengan semangat mudanya akan menulis sebuah cerita baru yang berangkat dari proses pembacaannya terhadap naskah “Djembatan Gondolaju”. Dia mencoba memproyeksikan penyelesaian masalah si tokoh pemuda dalam naskah di masa depan, masa di mana si pemuda sudah mati dan berada di alam baka. Sementasa Pak Yos akan tetap berpegang teguh terhadap naskah. Memastikan elemen-elemen masa lalu yang ada di dalam naskah dipresentasikan kepada penonton. Hal ini tentunya menarik, di mana dua dimensi masa berbeda coba dirajut dalam satu pementasan.
                
Pemuda, di alam baka bertemu dengan kekasihnya.
Bukan hanya dalam tataran naskah, eksperimen lintas masa ini berlangsung. Dalam penggarapannya sendiri, Pak Yos akan berkolaborasi dengan para aktor muda dari Teater Gadjah Mada sementara Agnes akan coba mengarahkan dua aktor senior, Margana dan Dinar. Eksperimen saling silang ini menjadi jembatan tersendiri bagi para penggiat teater senior dengan para juniornya atau pun dalam berbagai aspek pertunjukan teater.

Pemilihan naskah “Djembatan Gondolaju” pun berangkat dari harapan menjembatani dimensi waktu yang berbeda untuk disajikan pada penonton. Pementasan ini harapannya akan menjadi sarana penyeberangan penonton terhadap permasalahan sosial-politik dalam naskah hingga bentuk baru penciptaan karya pertunjukan.

SEPERTI MENIKMATI GADO-GADO DALAM PIRING BERNAMA TEATER
                
Secara prakteknya, pementasan ini akan menyulam naskah orisinil “Djembatan Gondolaju” dengan naskah baru dari hasil pembacaan pribadi Agnes. Metode penyulamannya pun menarik, beberapa bagian dari naskah karya Agnes akan ditaruh di depan, tengah, dan akhir dari pementasan. Penonton akan digiring untuk melihat masa depan dan kembali ke masa lalu secara bergantian. Dengan dua naskah yang berbeda dan disulam menjadi satu ini, penonton akan dihadapkan dengan dalam sebuah pengalaman baru menonton dan mengapresiasi karya pertunjukkan.
                
Bila dibandingkan, dua naskah ini memiliki perbedaan signifikan dari berbagai hal. Dari pembahasan masalah yang berbeda hingga dari penggunaan gaya bahasa yang amat kentara dalam eksperimen kali ini. Mungkin perbedaan-perbedaan ini akan secara sadar ditemui oleh para penonton, baik yang pernah membaca naskah asli “Djembatan Gondolaju” maupun yang belum pernah membacanya.
                
Naskah asli “Djembatan Gondolaju” sendiri berangkat dari niat seorang pemuda ingin bunuh diri setelah ia mendapati wanita yang dicintainya memiliki lebih dari satu kekasih dan meninggalkan si pemuda ini. Berangkat dengan intensi mengakhiri hidup, si pemuda malah bertemu sekian banyak karakter yang pada akhirnya membangun kompleksitas cerita dengan berbagai masalah-masalah yang coba dituangkan dalam naskah ini. Pertemuannya dengan Karni, seorang pelacur yang sempat dia lukis tubuhnya, menjadikan pemuda ini goyah terhadap niatan bunuh dirinya. Karni, yang hanya seorang pelacur, menawarkan dimensi permasalahan yang makin luas dan makin mempersempit premis-premis pemuda untuk membunuh dirinya sendiri. Masalah pun rasanya makin pelik ketika si pemuda bertemu dengan seorang gadis yang ingin bunuh diri nuga di jembatan yang sama. Semakin menuju akhir cerita, makin banyak permasalahan yang akhirnya bukan hanya berfokus membahas gagalnya romansa percintaan si pemuda, tapi membuka ke gerbang-gerbang permasalah geo-sosial yang berada di “Djembatan Gondolaju” itu sendiri.
                
Di lain pihak, Agnes melalui pembacaannya terhadap naskah yang ditulis oleh Nasjah Djamin ini terpanggil untuk menghadirkan sosok wanita yang menjadi alasan niatan bunuh diri si pemuda. Sosok yang disebut berkali-kali dalam naskah asli namun tak ada penjelasan lebih lanjut terkait siapa dia sebenarnya. Untuk menghadirkan sosok ini, Agnes coba membangun sebuah cerita dengan landasan penyelesaian masalah si pemuda di masa depan. Dia mengambil latar ketika si pemuda dan wanita ini bertemu sebagai sepasang arwah menanti untuk reinkarnasi di masa depan. Ruang imajinatif yang diptesentasikan pun kuat dengan kebudayaan Cina di mana merupakan latar etnis dari Agnes. Pencampuran kepercayaan oriental dengan gaya kepenulisan Agnes menjadi bumbu menarik tersendiri. Sementara itu cerita berkembang terkait alasan-alasan si wanita meninggalkan pemuda dan keteguhan hati pemuda menua tanpa mencintai wanita lain. Keduanya saling menuturkan kisahnya masing-masing untuk melengkapi tahun-tahun yang hilang di antara keduanya dan menyelesaikan permasalahan sebelum menyeberangi jembatan untuk reinkarnasi ke kehidupan baru.
 
Dari kanan depan; Agnes, Suharjoso, dan para aktor Djembatan Gondolaju
               
Bila dilihat, kedua naskah ini memiliki perbedaan yang begitu jelas dan sama-sama memiliki kekuatan untuk berdiri sendiri-sendiri baik sebagai naskah maupun pertunjukan. Namun pemilihan metode penciptaan yang bisa dianggap baru oleh Sri Kuncoro, seniman pertunjukan senior Yogyakarta, menjadikan pemantasan ini wadah eksperimen menarik yang akan disiguhkan kepada penonton. Sementara itu, bagi saya sendiri yang mendapat kesempatan untuk mengamati proses lebih dekat dan telah melihat kedua naskah ini dijadikan satu dalam pertunjukan (meski hanya pada tataran latihan) malah mendapatkan pengalaman yang benar-benar baru dalam menonton pertunjukan teater. Awalnya ada keraguan kedua naskah yang berbeda ini alan dapat berpadu dalam pementasan yang sama, namun perasaan itu lama-lama gugur seiring tawaran-tawaran yang hadir selama saya menonton secara utuh pertunjukan ini. Seperti menikmati gado-gado dalam piring besar bernama pertunjukan teater. Saya serasa disuguhkan banyak bahan yang berbeda kemudian dihidangkan dalam satu panggung yang sama. Namun saya bukanlah seorang yang gemar memakan sayur, saya akan menyisihkan beberapa sayuran yang tidak saya sukai agar tetap menikmati gado-gado yang lezat. Seperti itu pula proses penikmatan saya terhadap pementasan ini. Tentunya tanpa dipungkiri ada beberapa hal yang tidak begitu saya suka dalam penggabungan dua naskah ini, namun saya coba mengesampingkan itu semua guna menikmati pertunjukan yang berangkat dari sebuah metode baru penciptaan.
                
Tapi pada akhirnya akan seperti dialog yang diucapkan Karni, “Kau tidak bisa terus-terus lari jeng! Sekuat tenaga manusia lari, kaki dan hatinya akan terbentur kembali pada kenyataan.” Begitu juga dengan para pelaku seni pertunjukan. Sekuat tenaga mereka mencoba memikirkan metode penciptaan baru, langkah dan hati mereka pada suatu titik pasti akan terbentur kepada kenyataan juga. Dan kenyataan itu berupa penerimaan dari para penonton. Apalagi bila kita merujuk pada ucapan Wisran Hadi bahwa kehidupan teater tidak pernah bisa lepas dari kenyataan masyarakat sekitarnya, sebagaimana juga “peristiwa teater” tidak hanya menyangkut “proses” dan “terjadi”-nya saja, tapi juga menyangkut penonton. Oleh sebab itulah penonton memiliki peran penting dalam penerimaan metode baru ini. Sehingga benar adanya pendapat Sri Kuncoro, bahwa tantangan terbesar dari pementasan “Djembatan Gondolaju” ini adalah reaksi atau jenis penerimaan seperti apa yang keluar dari pemikiran penonton.
                
Sebagaimana naskah Nasjah Djamin yang pada awalnya mendapat berbagai macam respon baik secara positif maupun negatif terkait naskah yang ia tulis, metode baru ini pun pasti akan mendapatkan perlakuan yang sama. Namun perbedaan inilah yang akhirnya membawa kita ke pertanyaan yang jawabannya harus dicari secara bersama oleh tiap komponen teater.



Catatan:
-Tulisan ini merupakan satu dari 8 tulisan observer teater FKY 2019. Observer teater FKY 2019 merupakan sekelompok praktisi teater yang berasal dari berbagai kampus di Yogyakarta. Kelompok ini dibentuk guna mengobservasi metode penciptaan baru dari naskah Djembatan Gondolaju. Pembaca dapat mengakses kumpulan tulisan observer lainnya di laman http://bit.ly/Observer2019.

Comments