Yang Diajarkan Albert Camus Tentang Kecintaan Terhadap Hidup

Sumber foto: i-exc.ccm2.net


Entah setan apa yang membuatku bertemu dengan salah seorang teman yang sama-sama masih berkutat dengan kejenuhan tugas akhir yang tak kunjung terselesaikan. Siang itu, selepas menyerahkan draft revisi skripsi kami tanpa sengaja bertemu di kantin kampus tercinta. Banyak bahan obrolan yang kami saling tuturkan. Baik dari kejenuhan terkait tugas akhir yang terasa tiada akhirnya hingga keengganan terperangkap dalam dunia kerja lagi. Ya, aku dan kawanku pernah mengalami fase sebagai seorang karyawan pada kantor berbeda di Yogyakarta dan kini kami pun sama-sama memutuskan berhenti bekerja dengan dalih menyelesaikan pendidikan. “Dalih menyelesaikan pendidikan” sebenarnya hanya pembenaran kami berdua terhadap pandangan masyarakat. Sebuah alasan pelarian dari kami yang pada akhirnya menjadi tameng ketika orang-orang di sekitar kami bertanya terkait status kami yang masih tidaklah jelas.

Di hari selanjutnya, aku mengalami sebuah keganjilan dengan bangun pukul empat pagi. Ada sebuah dorongan besar pada hari itu. Entah dorongan terkait hal apa, yang jelas aku ingin mengunjungi sebuah ruang yang nyaman untuk menulis. Maka pada pukul tujuh pagi, aku tanpa sebuah niat yang mendalam dan hanya berangkat dari dorongan tersebut menghubungi kawanku. Tanpa perlu basa-basi, aku mengajaknya mencari sebuah area yang dapat kami gunakan. Entah itu menulis atau membaca. Setidaknya sebuah ruang di mana kami dapat menjalankan meditasi terhadap diri dan pikiran sendiri. Gayung bersambut, kata berjawab. Kawanku memang sedang ingin menuju sebuah co-working space di daerah RSUD Sardjito pagi itu. Akhirya tanpa pikir panjang aku bergegas mandi dan menuju tempat yang kami janjikan.

“Aku sudah pernah merasakannya. Sebuah kegundahan yang sama seperti sekarang.”, ujar kawanku. Dia menanggapi percakapan awal kami yang membahas terkait salah seorang kawan yang baru saja lulus dan sedang semangat-semangatnya mendaftar kerja di mantan perusahaan kawanku. Setelah menenggak jus nanasnya, dia menambahkan, “Setelah setahun bekerja di sana, aku mulai menemukan kejenuhan dan rasa gundah. Setiap pagi aku berdiri dari lantai dua, melihat ke arah jalan. Mengamati sekitar. Melihat orang-orang berlalu lalang dengan aktivitasnya. Sementara aku terkurung di sebuah gedung tanpa bisa melakukan apa-apa.” Setidaknya itulah yang bisa aku terjemahkan dari ucapan Bahasa Jawanya. Perasaannya yang terkekang serupa pernah aku rasakan. Sebuah perasaan tidak nyaman yang dikarenakan aktivitas monoton yang tidak pernah berubah-ubah.

Setelah percakapan singkat di antara kami berakhir, kami sama-sama tenggelam dalam buku yang kami baca. Dua jam kami duduk dan membaca buku masing-masing tanpa sepatah kata pun keluar dari mulut kami berdua. Entah apa yang ada di dalam pikirannya. Aku tak bisa meraba. Sementara aku malah tak bisa berfokus pada The Nun, The Gambler, and The Radio karya Hemingway. Pikiranku menerobos masuk pada bayang-bayang Albert Camus dan juga esai yang pernah ia tuliskan. Camus pernah menulis pengalamannya di Palma* dimana ia menghabiskan malamnya di sebuah kafe. Ketika hiruk pikuk kerumunan tidak berarti di mata keterasingan. “Rasa takut menghancurkan struktur psikologis yang kita miliki. Kita tidak bisa berbuat curang – bersembunyi di balik pekerjaan monoton yang selalu jadi tameng kita terhadap rasa kesepian.”, begitulah tulisnya.

Sumber foto: deviantart.net

Lampu-lampu gantung kafe pagi itu terlihat sedikit membius. Gerakan ritmik karena diterpa angin membuatku makin tenggelam dalam lamunanku. Apa yang sebenarnya hilang dariku dan kawanku? Kami berdua berada dalam lingkaran yang tak bisa kami pahami. Apakah kami serupa dengan karakter-karakter yang selalu ingin ditulis oleh Camus dalam novel-novelnya? Dalam Amour de vivre, Camus menyatakan dia ingin menulis novel-novel di mana protagonisnya mengatakan “Apa yang akan kulakukan tanpa ruang kantor kerjaku?” Lalu apa jadinya aku dan kawanku tanpa ruang kerja kami? Yang jelas kami bagai seekor lalat dengan satu sayap. Tidak dapat terbang dengan atau ke arah yang jelas.

Aku makin merasa getir ketika esai Camus yang diterjemahkan oleh Maggie Tiojakin dalam Bahasa Indonesia menjadi “Tentang Kecintaan Terhadap Hidup” malah lambat laun membuatku bertanya-tanya. Apa sebenarnya yang harus aku cintai dalam hidup? Apakah kehidupan yang serba membuat pusing ini patut untuk dicintai? Aku dan kawanku paham betul bahwa bukan hanya kami saja yang mengalami depresi terkait hal ini. Masih banyak orang-orang di luar sana yang mengalami sebuah masa di mana mereka tidak mengerti akan keinginan terkait menjadi hidup. Lalu apakah yang harus kami lakukan agar terlepas dari kejenuhan ini?

Karena ingatanku yang kadang tak dapat dipercaya, aku pun coba kembali menengok esai Albert Camus satu itu di fiksilotus.com. Aku mencoba mengingat mengapa ia dapat memberi judul esainya “Tentang Kecintaan Terhadap Hidup”. Hal yang sangat amat kuingat dari esai tersebut pada waktu itu hanyalah rasa keterasingan di kafe-kafe Palma. Tidak ada yang lain selain itu.

Selang beberapa waktu aku selesai membaca ulang esai tersebut, aku mulai meresonansi diriku dalam perjalanan waktu. “Ketika kita sadar betapa berharganya setiap berkah dalam hidup kita, maka kita akan jauh lebih menikmati momen-momen di mana kita terbuai oleh hal-hal yang memabukkan (atau, kebalikannya, hal-hal yang menjernihkan pikiran)”, tulis Camus dalam esainya. Kalimat itu membuatku berpikir terkait banyak hal. Di tengah-tengah kegundahanku dan kawanku terkait dunia akademik dan dunia kerja, aku mendapati waktu terbuai atas hal-hal yang tidak terduga. Dalam momen kala itu, aku melihat kawanku yang tenggelam dalam novelnya, pelayan yang sedang mengantar kentang goreng, pengunjung lain yang sedang melakukan percakapan video call, kantor-kantor di seberang jalan yang (mungkin) dipenuhi karyawan-karyawan yang jenuh dengan pekerjaannya, dan diriku sendiri. 

Tepat pukul 10;30, aku menghentikan gejolak pikiranku dan menghembuskan nafas panjang. Mencoba merakit sebuah potret yang penuh harapan untuk hari esok. Lalu beberapa saat kemudian kawanku menutup novelnya. “Lumayan, selesai satu bab.”, katanya sambil meletakkan novel yang menjadi objek penelitian skripsinya. “Sesuatu yang berat ialah mengerjakan hal yang tidak kita sukai, contohnya kita yang terpaksa mengerjakan skripsi dengan objek yang sama sekali tidak kita sukai.” Aku hanya tersenyum dan mengiyakan ucapannya. Bagiku ucapannya benar. Meski kini aku dirundung kegundahan terkait hakikatku sebagai manusia yang harus hidup, namun aku lebih menikmati waktu ini dibandingkan masa-masa menjadi kepala divisi di kantor lamaku di mana aku harus menghabiskan setengah hari untuk mengolah data di depan layar computer dan juga mengecek pekerjaan-pekerjaan anggota timku. Kini, aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan hanya untuk menyelesaikan terjemahan, menyicil skripsi, atau bahkan mulai menulis lagi dan malah kegiatan inilah yang lebih membuatku rileks serta bahagia.

Dengan apa yang terjadi dalam beberapa waktu belakangan ini, baik aku dan kawanku telah berubah menjadi sosok yang berbeda. Menjadi sosok lain yang membuat kami ingin memeluk dunia yang kami idamkan. Aku kemudian mensyukuri pekerjaanku sekarang sebagai penerjemah lepas daripada menjadi seorang karyawan kantor. Aku kemudian mensyukuri keputusanku untuk mengundurkan diri dan lebih menghabiskan banyak waktu dengan kedua orang tuaku. Sebuah bentuk obrolan yang tak pernah terjadi di antara kami dalam 23 tahun terakhir. Aku juga mensyukuri apa yang kini tengah aku cemaskan, tanpanya aku hanya akan menjadi manusia yang tidak utuh pikirku. Akan selalu ada waktu-waktu di mana pemikiran terkait kebencian yang besar terhadap hidup muncul dalam tiap-tiap manusia. Dan itu benar adanya saat terjadi padaku (dan mungkin kawanku), namun terkadang jika kita berhasil menghentikan waktu barang beberapa detik dan mulai mengingat semua yang terlalui secara seksama, alasan-alasan untuk mencintai dunia dan tetap bertahan hidup saling berjejalan menunggu kita untuk memeluknya. Hingga pada akhirnya Camus pun menemui pembenarannya dalam esai tersebut, kesadaran akan berkah dalam hidup adalah sebuah kunci kebahagian dalam mencintai dunia yang kadang sama sekali tak berpihak pada kita. Lalu sekarang, apakah semua dari kita sudah menyadarinya?

Catatan:
* : Palma atau Palma de Mallorca adalah sebuah kota besar di kepulauan Balearik, Spanyol.
- Fiksi Lotus adalah website milik Magie Tiojakin, seorang penerjemah dan penulis, yang berisi terjemahan karya-karya sastra dari berbagai penulis di dunia.
- Tulisan ini pernah dipublikasikan di Buruan.co dengan judul "Belajar pada Albert Camus", namun di postingan ini saya tetap menggunakan judul "Yang Diajarkan Albert Camus Tentang Kecintaan Terhadap Hidup" dikarenakan keinginan saya untuk menghubungkan judul tulisan saya dengan Amour de Vivre yang diterjemahkan menjadi "Tentang Kecintaan Terhadap Hidup".

Comments