saat langit atapnya runtuh
lantai terjungkit dan
cerobong dapurmu tersedak?"
(Sisa Sore di Daster Misna, karya Radhar Panca Dahana)
(Sisa Sore di Daster Misna, karya Radhar Panca Dahana)
Sore itu di sebuah perkampungan kumuh yang terletak di jantung ibu kota, Misna, perempuan 36 tahun sedang ngelamun sambil menatap foto yang ada di tangannya. Perempuan 36 tahun dengan daster bergambar nyiur pantai duduk di depan kompor minyak yang kotor sambil memandangi foto Lili dan Tata yang tengah berlari di atas pasir putih pantai Anyer dengan menggenggam es krim rasa stroberi. Misna menatap foto keduanya yang nampak riang dan bebas, seperti ikan terbang yang selalu dia lihat dalam sebuah logo stasiun tv swasta. Ada senyum yang ingin terkembang sebab foto itu, namun terhalang oleh bau gosong nasi yang sedang dimasaknya.
Hati perempuan itu seperti badai semalam. Serupa panasnya gosip-gosip infotaiment yang tak usai didengarnya tiap hari, bahkan hingga sore ini. Berita-berita panas selebriti meraung-raung melalui tv dari ruang tengah, mengisi kekosongan yang didera Misna dari hari ke hari. Tangannya dengan cekatan memindahkan nasi yang setengah gosong ke dalam bakul. Dan entah kenapa segumpal nasi panas jatuh tepat di atas jempol kaki kirinya. Misna tak bergeming, hanya memandang gumpalan nasi panas yang kemudian diambilnya dengan jari-jari kurusnya dan melahapnya. Panasnya nasi itu masih tersisa di ujung jemarinya yang ringkih, namun tidak di jempol kaki kirinya. Sudah tiga tahun ini jempol kaki kirinya terasa dingin. Membeku. Bahkan tak mampu merasakan panasnya air mendidih lagi. Entah apa gerangan yang terjadi, Misna tak mau ambil pusing. Sudah terlalu banyak yang hal mesti ia pikirkan lebih jauh lagi selain jempol kaki kirinya yang selalu kedinginan.
Tiga tahun yang lalu, sebuah taufan meluluh lantahkan perasaan dan jiwa Misna. Sebuah kalimat ringkas dan dingin memporak-porandakan perempuan itu. “Jangan tunggu aku!”, sebuah kalimat pendek dan tegas keluar dari lelaki tua dengan uban yang mungkin juga tumbuh di hati lelaki tua itu. Lelaki tua itu pun pergi meninggalkan Misna, serta Lili dan Tata yang waktu itu masih tiga dan satu tahun umurnya.
Seperti tungku yang membesi, Misna tidak pernah menunggu. Dia tetap hidup dan bertahan hidup. Bahkan diajarkannya pada Lili dan Tata untuk tak menunggu lelaki tua mereka pula. Lili dan Tata yang kini enam dan empat tahun, yang keduanya sedang setia menunggu di meja makan untuk segumpal nasi seperti arca yang menemani tiap kisah senja Misna.
Di meja makan yang hanya sebuah meja tamu, mereka bertiga bercengkrama dengan sisa jingga yang mewarnai sore itu. Lili berkisah mengenai mimpi yang dialaminya saat tidur siang barusan. Pipinya bergerak-gerak, tirus dan menampakkan tulang. Sementara Tata masih sibuk dengan telur dadar yang tak kunjung berhasil dimamahnya. Sementara Misna masih menatap nanar kedua arca setia yang menemaninya itu.
36 tahun sudah dan Misna tak pernah membayangkan bahwa malam ini harus terjadi. Malam di mana dia menanggalkan nyiur pantai dasternya dan menggantinya dengan bedak tebal serta gincu merona untuk menutupi 83 kilo lipatan lemak di tubuhnya yang kini serupa dedemit yang tersenyum manja. Dengan bau nikotin yang keluar dari asap rokoknya, Misna membopong Lili dan Tata yang tertidur selepas Isya’ di depan tv masuk ke kamar. Sebelum berkelana di malam itu, sempat Misna melihat iklan restoran cepat saji yang membuatnya menelan air liurnya sendiri. Dia ingin memberikan sebongkah daging berlemak untuk Lili dan Tata. Setidaknya untuk hari esok. Oleh sebab itu, malam ini dia berani menanggalkan dasternya setelah 36 tahun hanya demi sepotong daging yang akan dimakan Lili dan Tata esok serta seterusnya.
Perempuan itu menyapu malam dengan mata kelam sekelam hidupnya. Kakinya terkelupas setelah berjalan puluhan kilo tanpa henti dan tanpa hidung belang satu pun yang bersedia menyengatnya. Hatinya telah membatu. Tak lagi merasa karena yang dia rasa hanya letih. Belum habis adzan subuh, ia masih berjalan. Tak ada lagi yang ingin meliriknya, bahkan supir truk bau keringat, apalagi dengan beban 83 kilo lemak yang ia miliki. Tak ada lagi yang mengingginkannya, seperti pria tua dengan hati beruban yang telah meninggalkannya tiga tahun lalu. Hatinya lelah seperti kakinya yang kini diseret kembali ke rumah di mana Lili dan Tata seharusnya masih lelap tidur dalam mimpi kanak-kanak mereka.
Tepat kumandang subuh berakhir dan para alim menuju surau, Misna terdiam di depan kompor minyaknya yang kotor. Dinyalakannya kompor itu tanpa memasak suatu apa pun. Hatinya kini telah mendidih. Api yang merah merekah dipandangannya lama-lama sampai iqomah subuh terdengar. Misna mematung. Membeku. Hingga akhirnya diraihlah daster pantainya dan dibuangnya ke atas kompor. Api membesar. Tapi dia masih membeku. Kedinginan. Dilemparnya gordyn, kursi lapuk, foto tua, kaki meja, harapan kelu, dan bola mata hitamnya. Termasuk Lili dan Tata serta hidupnya. Semua terbakar, suasana, tubuh tembamnya, masa lalunya, dan masa depan Lili dan Tata.
Selang berapa jam kemudian sirine pemadam kebakaran meraung-raung. Mengisi ruang-ruang sempit gang kumuh di jantung ibu kota. Hujan turun dari langit serta dari keran-keran PDAM dengan biaya yang tak murah. Rumah itu menjadi arang. Arang yang basah dan hanya menjadi sebuah tumpukan sepi di balik awan mendung ibu kota. Semua terbakar habis, kecuali sebuah foto. Sebuah foto Lili dan Tata di pantai sambil menggenggam es krim stroberi.
Jogja, Oktober 2016
N.B:
*Cerita pendek ini merupakan alih wahana dari puisi berjudul "Sisa Sore di Daster Misna" karya Radhar Panca Dahana.
*Radhar Panca Dahana merupakan sastrawan dan budayawan yang lahir di Jakarta pada 26 Maret 1965. Beliau aktif menulis cerpen, puisi, esai, serta naskah lakon. "Sisa Sore di Daster Misna" sendiri adalah salah satu puisi karya beliau yang terhimpun dalam kumpulan puisi berjudul "Lalu Aku" yang diterbitkan pertama kali pada tahun 2003.
Comments
Post a Comment