Setelah selesai menyusun peralatan di atas mejanya, dia mengambil sebuah bor dari kursi praktiknya dan duduk untuk menyelesaikan gigi palsu. Dia nampak tidak memikirkan apa yang sedang dikerjakannya, namun tetap dia bekerja dengan tenang, memompa bor dengan kakinya, bahkan saat dia tidak memerlukannya.
Setelah pukul delapan dia berhernti sejenak untuk menatap langit melalui jendela, dan dia melihat dua elang yang termenung berjemur dibawah sinar matahari dia atas atap tetangganya. Dia berpikiran bahwa sebelum makan siang akan turun hujan lagi. Suara melengking dari anak laki-lakinya yang berumur sebelas mengganggu konsentrasi dokter gigi itu.
"Papa."
"Apa?"
"Pak walikota ingin tau apakah kau bisa mencabut giginya."
"Bilang padanya aku tidak ada."
Dia sedang membersihkan sebuah gigi emas. Dia memegang gigi emas itu dan memeriksanya dengan mata yang setengah tertutup. Anaknya kembali berteriak dari ruang tunggu yang sempit.
"Katanya kau ada, karena dia bisa mendengarmu."
Dokter gigi itu tetap memeriksa gigi yang ada di hadapannya. Hanya setelah dia menaruh pekerjaannya yang telah selesai di atas meja, dia baru saja berkata :
"Malah lebih baik."
Dia mengoperasikan bornya lagi. Dia mengambil beberapa potong bridge* dari kardus dimana dia menyimpan beberapa hal yang harus dia selesaikan dan melanjutkan membersihkan gigi emas tadi.
"Papa."
"Apa?"
Dia masih tidak memiliki kesempatan untuk merubah ekspresinya.
"Dia bilang jika kau tidak mencabut giginya, dia akan menembakmu."
Tanpa terburu dan dengan gerakan yang amat tenang, dia berhenti memompa bornya, mendorongnya menjauhi kursi, dan membuka laci paling bawah dari mejanya. Sebuah pistol tergeletak di laci itu. "O.K.," katanya. "Bilang saja untuk datang dan menembakku."
Dia menghadapkan kursinya berlawanan dengan pintu, tangannya bersiap di ujung laci. Walikota muncul dari balik pintu. Dia mencukur bagian kiri wajahnya, namun bagian lainnya bengkak dan kesakitan dengan jambang tipis berumur lima hari. Dokter gigi itu telah banyak melihat malam-malam penuh keputusasaan dari matanya yang kusam. Dia menutup laci dengan ujung jarinya dan berkata dengan lembut:
"Silahkan duduk."
"Selamat pagi," ucap si walikota.
"Pagi," jawab si dokter gigi.
Saat peralatan sedang dibersihkan dalam air yang mendidih, si walikota menyandarkan kepalanya di kursi dan merasa sedikit lebih baik. Nafasnya dingin. Ruang praktik itu sangat menyedihkan : kursi kayu tua, bor yang harus dipompa dengan kaki, wadah kaca dengan botol-botol keramik. Di seberang kursi ada sebuah jendela dengan tirai yang tingginya sebahu. Ketika dia merasakan dokter mendekatinya, si walikota menekan kakinya ke lantai untuk mengurangi rasa sakit yang dia pikirkan dan membuka mulutnya.
Aurelio Escovar mengarahkan kepalanya ke cahaya lampu yang menerangi mulut walikota. Setelah memeriksa beberapa gigi yang terinfeksi, dia menutup rahang si walikota dengan menekannya secara hati-hati menggunakan jari-jarinya.
"Harus dicabut tanpa obat bius," katanya.
"Kenapa?"
"Karena kau menderita abses."
Si walikota menatap kedua matanya. "Baiklah," jawabnya, dan mencoba untuk tersenyum. Dokter gigi itu tidak membalas senyumnya. Dia membawa baskom dengan peralatan yang sudah steril ke meja kerjanya dan mengambilnya dari dalam air dengan pinset dingin, tetap tanpa terburu. Lalu dia mendorong tempat meludah dengan ujung sepatunya, dan mencuci tangannya di baskom lain. Dia melakukan semuanya tanpa sekalipun melihat ke arah walikota. Sebaliknya, si walikota tidak pernah melepaskan pandangannya terhadap dokter gigi itu.
Gigi geraham bawahlah yang harus dicabut. Dokter gigi itu membuka kakinya dan bersiap mencabut gigi itu. Si walikota menekan tangannya di kursi, menekan kakinya ke lantai dengan seluruh kekuatannya, dan merasakan rasa dingin di ginjalnya, namun dia tidak mengeluarkan suara apapun. Dokter gigi itu hanya menggerakkan pergelangan tangannya. Tanpa rasa benci, namun dengan kelembutan yang agak getir, dia berkata:
"Sekarang kau harus membayar untuk dua puluh orang-orang kami yang mati."
Si walikota merasa gemertak tulang di rahangnya, dan matanya dipenuhi oleh air mata. Dia menahan nafasnya sampai dia merasakan bahwa giginya telah dicabut. Lalu dia melihat giginya dari balik linangan air mata. Gigi itu nampak tak wajar menjadi alasan rasa sakitnya dan dia gagal memahami siksaan yang terjadi selama lima malam ini karena sebuah gigi yang kini telah tercabut itu.
Si Walikota membungkuk ke tempat meludah yang sudah disediakan , dia berkeringat, terengah-engah, melepaskan kancing jubahnya dan mencoba menggambil sapu tangan dari saku celananya. Dokter gigi itu memberikannya sebuah kain bersih.
"Basuh air matamu," katanya.
Si walikota membasuh air matanya. Dia bergemetar. Saat dokter gigi membasuh tangannya, dia melihat langit-langit yang berlubang dan jaring laba-laba berdebu dengan telur laba-laba serta serangga-serangga mati. Dokter gigi itu kembali menghampirinya sambil mengeringkan kedua tangannya. "Beristirahatlah," katanya, "dan berkumur dengan air garam." Si walikota itu berdiri, mengucapkan salam ala tentara, dan berjalan menuju pintu seraya melemaskan kakinya tanpa mengancingkan kembali jubahnya.
"Kirim saja tagihannya," katanya.
"Kepadamu atau kepada kota?"
Si walikota tidak menatap dokter gigi itu. Dia menutup pintu sambil menjawab:
"Sama saja. Itu sama saja."
catatan :
*bridge adalah alat penopang atau peganggan untuk gigi palsu
-Judul cerpen ini adalah "One of These Days" karya Gabriel Garcia Marquez
-Gabriel Garcia Marquez adalah seorang novelis, jurnalis, penerbit, dan aktivis politik Kolombia. García Márquez secara umum dipandang sebagai tokoh utama dari gaya sastra yang dikenal sebagai realisme magis
.
Comments
Post a Comment