Si Kambing dan Aku

source : Goat by Elizabeth Barret
 Faizal Fahmi Baelul 

    
Pada setiap perayaan hari raya Idul Adha di masa kanak-kanakku, aku dan keluarga besar akan menghabiskan waktu setelah sholat Id untuk berkumpul di rumah jidah* kami yang berada di Wonosobo. Hampir seluruh ami** dan ameh***ku berkumpul di sana bersama anak-anak mereka yang notabennya adalah sepupu-sepupuku. Setiap tahunnya juga di rumah jidahku selalu dilaksanakan penyembelihan hewan kurban di lantai dua ruko milik jidahku. Oleh sebab itu sudah suatu kebiasaan bagi kami untuk berkumpul dan menikmati olahan daging kurban secara bersama setiap kali hari raya Idul Adha berlangsung.
                
Seperti biasanya, abahku akan sibuk bercengkrama dengan ami-amiku dan ameh-amehku. Momen ini membuat aku dan beberapa sepupu sering bermain bersama. Namun permainan kami sewaktu Idul Adha hanyalah satu, kami biasa bermain dengan kambing kurban yang ditaruh di taman rumah jidah kami. Kami biasanya heran karena jarang-jarang dapat melihat kambing sedekat itu, bahkan kadang bisa sampai menyentuhnya. Kami juga gemar mencari daun apa saja yang ada di taman itu untuk dimakan oleh si kambing.

Di lantai dua ruko milik jidahku, ada sebuah taman kecil dengan berbagai macam tanaman yang tumbuh di dalam pot. Bentuk ruang terbuka itu seperti huruf L dengan sebuah kamar mandi di ujung ruang terbuka yang tidak nampak dari ujung satunya. Di kamar mandi itulah terdapat sebuah palang besi yang berada di bawah atap. Ketika aku kecil aku selalu bertanya apa gunanya palang besi itu, karena toh di dalam kamar mandi sudah terdapat sebuah gantungan handuk jikalau ingin mandi. Namun ketika semakin beranjak dewasa, aku mulai paham bahwa palang itu akan digunakan untuk menggantung kambing kurban agar mudah untuk dikuliti. Kamar mandi itu memang khusus didesain oleh almarhum jid**** untuk menjadi tempat potong kambing.

Biasanya akan ada dua atau lebih ekor kambing yang akan dikurbankan setiap tahunnya. Dan biasanya pula kambing aku dan sepupu-sepupuku akan menggiring kambing yang akan dipotong belakangan ke arah berlawanan dari kamar mandi. Aku dan sepupu-sepupuku dengan polosnya menjauhkan si kambing dari pemandangan mengerikan temannya yang mati oleh golok tajam dan coba menenangkan si kambing dengan mengelus-elus bulunya atau kadang memberikan dedaunan untuk dimakan. Kami waktu itu merasa iba kepada si kambing yang sebentar lagi akan bertemu dengan kematian, bahkan beberapa sepupuku kadang ikut bersedih ketika mendengar lengkingan kambing yang disembelih. Kami juga kadang merasa heran dengan air mata yang keluar dari si kambing yang belum dipotong. Air mata yang keluar dari si kambing kadang membuat hati kami mendung dan kehilangan selera untuk menyantapnya jika sudah dimasak oleh ameh-amehku. Ketika hari menjadi siang dan jam makan siang datang, kami biasanya disuruh untuk berhenti bermain dan menyantap makan siang bersama. Ada beberapa sepupuku yang menolak untuk makan setelah melihat prosesi penyembelihan si kambing, tapi biasanya juga aku dan sepupuku hanya akan kuat menahan lapar hingga menjelang sore dan akhirnya menyerah dengan aroma rempah yang kuat dari masakan olahan ameh-ameh kami.

catatan :
*jidah adalah sebutan untuk nenek
**ami adalah sebutan untuk paman
***ameh adalah sebutan untuk tante
****jid adalah sebutan untuk kakek

Comments