Pagi itu pukul tujuh di hari minggu. Kamar yang dihuni Alfa masih gelap. Semua jendela ditutupnya dengan rapat tanpa ada tanda-tanda ingin dibuka untuk menyambut pagi yang cerah. Dia membenci dunia yang cerah dan mencintai kegelapan kamarnya. Tidak akan ada gunanya lampu yang menerangi kamarnya. Lampu itu hanya akan berguna ketika Alfa membaca buku atau sedang menulis, selebihnya mati. Bahkan saat malam.
Matanya terbuka lebar. Alfa menatap lurus ke arah langit-langit yang muram karena kondisi kamar yang gelap. Diambilnya nafas yang panjang lalu berkata, “Aku masih saja terpenjara.”
Ada dua hal yang sebenarnya dibenci oleh Alfa. Pertama, terik dan cerahnya siang hari yang membuat dia berkeringat dan membuatnya malas melakukan aktifitas di luar ruangan. Dan kedua adalah berpura-pura hidup selayaknya orang normal. Namun sial baginya, karena tiap hari dia harus berurusan dengan dua hal itu. Pekerjaannya sebagai seorang guru membuatnya harus menjadi seorang yang digugu lan ditiru dari matahari terbit hingga senja menjelang.
Ditinggalkannya semua hal kesukaannya setelah ia beralih profesi menjadi guru karena wasiat dari almarhum ayahnya. Alfa tidak lagi suka keluar malam dan nongkrong di warung kopi hingga dini hari hanya untuk membaca novel atau menulis naskah drama untuk komunitas teaternya. Dia pun sudah berhenti melakukan kegiatan kesenian bersama komunitas teaternya. Kehidupannya kini hanya berputat pada masalah merancang Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, Kisi-kisi Ulangan, serta Analisis Butir Soal.
Meski profesi guru bukanlah impiannya dan Alfa sangat tidak menyukainya, namun dia tak pernah mengeluh pada siapa pun. Dia menyimpannya sendiri. Dia keluhkan itu sendiri. Pada tiap pagi, ketika dia membuka mata dan menatap dalam langit-langit yang muram. Dia gumamkan sendiri keluhannya hanya dengan satu kalimat, “Aku masih saja terpenjara.”, dan diakhiri dengan hembusan nafas panjang seperti pasien penyakit kronis yang dirawat di rumah sakit.
Matanya kosong. Menatap tanpa beban ke arah langit-langit. Alfa masih berbaring di kasurnya. Belum beranjak. Terdiam disana selama mungkin hampir seperempat jam sebelum suara telpon memaksanya untuk bangun dari kasurnya. Dengan langkah yang lemas tanpa tenaga dia berjalan mengambil handphone yang ditaruhnya pada meja kerja di pojok kamar.
“Halo, selamat pagi.”
“Selamat pagi, benar ini dengan Mas Alfa?”, suara wanita terdengar dari balik telepon.
“Iya, maaf ini siapa ya?”
“Ini Bu Tun, tetangga mas di kampung.”
“Oh iya bu, ada apa?”
“Ibu mas meninggal tadi pagi. Mbok Siti yang menemukan ibu meninggal di kamar.”
Alfa terdiam. Untuk beberapa saat suara Bu Tun menghilang. Maka muncul berbagai potongan kenangan ia bersama ibunya sejak kecil hingga dewasa. Dia teringat ibu yang membelikannya cokelat tiap pulang dari pasar, maupun tentang sup jagung yang selalu dimasakkan ketika Alfa pulang ke rumah. Meski benar jarak Yogyakarta dan rumahnya hanya dua jam, namun Alfa amat jarang dapat pulang. Dia hanya menyempatkan waktu sebulan atau dua bulan sekali menjenguk ibunya. Pernah Alfa meminta ibunya tinggal di Yogyakarta, di rumahnya, karena setelah kematian ayahnya wanita tua itu hanya hidup sendiri ditemani Mbok Siti sebagai pembantu. Sementara kedua kakak dan adik Alfa tinggal di Jakarta. Hanya dia yang paling dekat dengan rumah, namun ibu menolak. “Ibu tidak ingin meninggalkan rumah yang sudah ayah bangun untuk kita. Ibu tidak ingin meninggalkan rumah ini.”, itu jawaban ibunya.
“Mas Alfa?”, suara Bu Tun memecahkan enangan yang sedang diputar ulang oleh kepala Alfa.
“Terima Kasih Bu atas kabarnya. Saya akan segera pulang.”, suara Alfa datar, tak terlihat seperti orang yang bersedih.
Setelah membereskan seluruh barang bawaan dan mandi, Alfa mengirim SMS ke Pak Kastam untuk minta ijin tidak mengajar selama seminggu. Pak Kastam adalah Kepala Sekolah di SMA tempat Alfa mengajar. Dia salah satu teman berdiskusi Alfa jika sedang berada di sekolah. Pak Kastam, menuut Alfa, adalah tipe orang yang menyenangkan untuk diajak berdiskusi karena lebih mengedepankan saling bertukar informasi dalam berdiskusi, bukan berusaha menang sendiri. Tidak seperti kebanyakan guru-guru lain yang akhirnya malah ditakuti oleh para murid mereka. Tak masalah hanya mengirim SMS pikirnya, Pak Kastam pasti mengijinkan.
Selama perjalanan pulang, Alfa hanya memutar lagu “Gloomy Sunday” yang dinyanyikan oleh Billie Holiday berulang-ulang. Wajahnya tak berekspresi. Dingin dan tatapan matanya masih saja kosong. Tak ada sepercik emosi pun dalam gestur tubuhnya serta mimik wajahnya. Tidak bisa dilihat letupan kesedihan. Semuanya kosong, sama seperti saat dia menatap dalam langit-langit malamnya yang muram.
Sesampainya di rumah, para pelayat sudah banyak berdatangan. Ketika turun dari mobil, Alfa langsung disambut oleh Tante Lusi. “Bagaimana perjalannya? Saudaramu yang lain akan tiba malam hari. Mereka sudah dapat tiket pesawat penerbangan sore hari.”, kalimat itu keluar dengan beban isak yang ditahan dari wanita tengah baya itu. Alfa tidak menjawab, dia hanya meraih tangan tantenya dan menciumnya, sama seperti tiap ponakan ketika bertemu dengan tantenya. Lalu melangkahlah ia kedalam rumah, ingin melihat ibunya yang seharusnya minggu depan ia temui ketika akan pulang.
Ruangan itu dulunya adalah ruang keluarga. Ada televisi 21 inch dan juga sofa serta karpet. Dulu biasanya seluruh anggota keluarganya bersantai disana sambil menonton tv atau bermain kartu. Memang itu adalah ruangan yang paling luas di rumah, itulah kenapa keponakan-keponakan Alfa suka berlari dan bermain di ruangan itu. Namun kini ruang keluarga itu kosong, hanya ada jenazah ibunya disana. Semua perabotan sudah disingkirkan dari ruangan itu. Beberapa orang sedang mengerubungi jenazah ibunya saat Alfa masuk. Namun setelah Alfa mendekat, beberapa orang itu seperti secara otomatis menyingkir untuk memberi ruang khusus antara ibu dan anak itu.
Wajahnya tenang, keduanya berwajah tenang. Baik almarhum ibunya maupun Alfa. Tak ada letupan emosi. Kedua seperti sama-sama menikmati ketenangan. Ibunya tersenyum dibalik wajah pucat pasi. Alfa menatapnya tenang, membungkuk dan berkata tepat di telinga ibunya, “Akhirnya kita berpisah. Terima kasih.”
Setelah itu dia berdiri dan meninggalkan ibunya. Tidak ada kata lain, tidak ada letupan emosi lain. Langkah dan wajahnya tetap tenang saat meninggalkan ruangan itu. Hal itu membuat beberapa tetangga yang membantu proses pemakaman terlihat bingung dengan reaksi Alfa. Bagi para tetangga, tidak biasanya Alfa setenang itu. Alfa yang mereka kenal sejak kecil adalah anak yang emosinya tidak stabil. Kadang menangis kencang, kadang tertawa kencang. Dia bukan tipe pendiam dan cerewet. Namun reaksi Alfa kali ini berbeda. Bahkan Mbok Siti pun terkejut melihat tingkah Alfa. “Mungkin hatinya hancur.”, kata Mbok Siti.
Alfa keluar dari rumah dan menuju kebun bunga yang dirawat oleh ibunya di bagain belakang rumah. Taman itu tidak terlalu besar, namun rindang dan sejuk. Berbagai jenis bunga tumbuh disana. Dan di tempat itu pula biasanya tiap sore hari Alfa sekeluarga menghabiskan waktu dengan mengobrol dan menikmati secangkir teh hangat. Selalu ada kehangatan dan kenyamanan disana. Alfa duduk sambil memandangi taman itu. Taman itu tidak seramai di dalam rumah, hampir tidak ada tetangga yang kesana. Semua tetangga sibuk di dalam rumah sehingga melupakan taman indah itu ada.
Bunga mawar kegemaran ibunya masih tumbuh. Mawarnya merekah berwarna merah menyala. Ibu selalu menyukai mawar itu. Katanya mawar itu istimewa. Dia mengambilnya dari Dieng dulu bersama ayah. Katanya mawar itu sebenarnya berwarna hitam, namun karena kondisi iklim yang berbeda antara Dieng dan rumah membuat mawar itu tetap berwarna merah, sama seperti yang lainnya. “Lalu apa bedanya?”, Alfa ingat pernah bertanya tentang itu kepada ibunya dulu. “Yang membuat berbeda adalah saat itu Ayah berkata kalau ibu boleh mencoba menanam mawar itu, katanya sebagai oleh-oleh bulan madu Ayah dan Ibu waktu itu. Itulah yang memberinya nilai lebih dibandingkan bunga-bunga ibu yang lain.”, jawab wanita itu. Alfa tentu masih ingat kejadian itu. Bahkan Alfa juga masih ingat tentang ibu yang tiap pagi selalu menyirami dan merawat tamannya. Tentang ibu ketika sudah memiliki cucu dari kakak-kakaknya memutuskan untuk mencabut duri-duri pada tiap tangkai mawar favoritnya tiap pagi karena takut cucu-cucunya terluka ketika bermain di taman. Tentang ibu yang selalu tersenyum saat merawat bunga-bunganya sebagaimana dia merawat Alfa dan saudara-saudaranya.
“Ingat Alfa, yang memberi makna pada tiap benda yang cantik adalah momennya.”, Alfa masih ingat ketika ibu berkata seperti itu ketika ayah sebulan telah meninggal. Waktu itu mereka berdua sedang menikmati teh di ambang senja dan setelah berkata demikian ibu langsung berjalan menghampiri mawar kesayangannya. Dia memetik setangkai mawar, lalu diberikannya kepada Alfa. “Seperti mawar ini. Jika kamu berikan pada wanita yang mencintaimu, dia akan menyimpannya baik-baik agar tidak cepat layu. Karena mungkin baginya momen seperti itu tidak akan datang lagi, apalagi dengan tingkahmu yang cuek. Hehe. Namun akan berbeda jika mawar ini kamu berikan kepada wanita yang kamu cintai tapi akhirnya dia tidak ingin menerima mawar ini, dengan kata lain menolakmu. Kamu akan membenci mawar ini dan mungkin akan membuangnya meski mawar ini indah dan cantik, tapi bagaimanapun hatimu yang hancur menganggapnya buruk dan busuk.”. Alfa masih teringat kejadian itu. Pada awalnya Alfa hanya mengira bahwa ibunya hanya memberi kode untuknya agar segera menikah. Maklum, umur Alfa sudah 30 tahun waktu kejadian itu. Maka Alfa tidak terlalu memusingkan dan menganggap berat ucapan ibunya waktu itu.
“Kau benar Bu. Aku selalu menyukaimu ketika engkau tertidur pulas. Kau terlihat cantik meski cucumu sudah tujuh. Namun tidurmu yang sekarang sama sekali tidak aku sukai.”
“Alfa, suadaramu yang lain sudah datang. Mereka datang lebih cepat dari perkiraan awal.”, suara Tante Lusi menghentikan lamunan Alfa. Kenangan-kenangan bersama ibunya yang sedang muncul layaknya dikemas dalam sebuah film pendek tiba-tiba berhenti. Alfa hanya mengangguk tanpa mengucap sepatah katapun pada Tantenya. “Satu jam lagi kita akan memakamkan ibumu. Kamu bisa makan dulu.”, kata Tante Lusi sambil meninggalkan keponakannya yang daritadi membisu dan menyendiri itu.
Alfa beranjak dari kursi dan melangkah menuju mawar favorit ibunya. Dipetiknya setangkai mawar dan berjalanlah ia kembali masuk ke dalam rumah untuk menemui ketiga saudaranya.
“Bagaimana menurutmu?”, kata Fajar, kakak tertua Alfa.
“Kalau aku dan Nurdin setuju saja.”, jawab Kamal, kakak kedua Alfa.
“Lalu bagaimana denganmu Fa?”, tanya Fajar.
“Aku juga setuju. Akan lebih baik jika ibu segera dimakamkan. Janganlah membuat ibu menunggu lama.”
Malam itu juga, di bawah bulan yang setengah menggantung di langit, Ibu dimakamkan. Jenazah beliau dimakamkan disamping makam ayah. Malam itu angin terasa amat dingin. Nuansanya pun membuat tubuh menggigil. Sekian banyak pelayat yang mengantarkan jenazah ibunya ke makam meneteskan air mata. Ada yang menanggis sejadinya, seperti Tante Lusi. Ada yang hanya terisak seperti Kamal dan Nurdin. Dan banyak yang meneteskan air mata serta terdiam ketika proses pemakaman berlangsung, seperti Fajar. Namun berbeda dengan Alfa, dia hanya sibuk memandangi mawar yang dipetiknya tadi sore dan sesekali melihat ke arah liang kubur dimana ibunya akan bersemayam selamanya. Tidak ada ekspresi kesedihan muncul dari wajahnya. Beberapa kali dia menatap saudara-saudaranya ataupun tantenya yang sedang bersedih, namun itu sama sekali tak membuat ekspresi Alfa berubah.
“Mari pulang.”, ajak Fajar pada Alfa.
“Duluan saja. Aku akan menyusul nanti.”
“Ini sudah malam, kita bisa kesini besok pagi. Rombongan lain sudah pada pulang.”
“Sepuluh menit lagi aku akan menyusul.”
“Baiklah, aku akan menungumu di gerbang makam.”
“Baiklah.”
Fajar pergi meninggalkan Alfa sendirian. Rombongan pelayat yang lain sudah kembali sedari tadi. Kamal dan Nurdin pun sudah lebih dulu pulang ke rumah mengantar Tante Lusi. Mas Fajar menunggu di pintu gerbang makam sambil mengamati gerak-gerik adiknya. Kadang dia tidak paham dengan tingkah laku Alfa. Bagi Fajar, Alfa seperti berubah. Dan perubahannya itu seperti terjadi hari ini saja. Terjadi setelah ibu yang mereka cintai meninggalkan mereka.
“Aku akan selalu mencintai mawar sepertimu ibu. Terima kasih.”, kata Alfa tepat di depan makam ibunya. Dia menunduk menaruh bunga mawar yang sore tadi dia petik di atas makam ibunya.
“Mungkin setelah kepergianmu aku tidak akan berpura-pura lagi. Mungkin mulai hari ini dan seterusnya aku akan menjadi diriku sebenarnya.”
Sepuluh menit hampir berlalu, Alfa belum kunjung kembali. Tiap beberapa saat Fajar menatap kearah Alfa, memastikan dia masih disana dan tidak menghilang. Ada perasaan yang membuat Fajar gelisah terhadap Alfa. Dia meyakini ada perubahan besar yang terjadi pada diri Alfa dan itu akan membuat Alfa dalam masalah. Namun ini masih asumsi pribadinya, bahkan menurutnya Kamal dan Nurdin, dua saudaranya yang lain tidak menyadari perubahan Alfa.
“Mari pulang. Maaf menunggu lama.”, tiba-tiba Alfa datang dan mengagetkan Fajar.
“Tidak apa.”
Mereka berdua berjalan menuju rumah yang jaraknya hanya sekitar dua kilometer dari pemakaman. Ada diam diantara mereka selama perjalanan mereka. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari kedua.
“Apa yang terjadi padamu adikku? Jangan pernah berbohong padaku! Hari ini kau berubah. Apakah ini karena kepergian ibu kita? Aku paham rasa sakitnya, tapi bukankah kau akan mendapat masalah besar jika membiarkan kesedihanmu menguasai jiwamu itu? Aku khawatir padamu adikku!” Fajar hanya mampu berkata dalam hati. Entah kenapa ia merasa tidak sanggup untuk bertanya langsung kepada adiknya. Tidak ada keberanian di lidah Fajar untuk bertanya tentang Alfa.
Beberapa ratus meter sebelum sampai ke rumah yang kini sudah dipenuhioleh keluarga dan kerabat, Alfa berhenti. Dia menarik nafas panjang dan menatap ke arah langit. Hal ini membuat Fajar juga berhenti.
“Ada apa?”, tanya Fajar yang semakin merasakan perubahan dari adiknya itu.
“Tidak ada. Tidak perlu terlalu mengkhawatirkanku mas. Terima kasih.”, kata Alfa sambil tersenyum ke arah kakak tertuanya itu.
“Apa arti senyumanmu itu Alfa? Seharian ini kau hanya terdiam dan tidak membuat mimik wajah apapun. Bahkan kau tidak menanggis dan terlihat sedih di pemakaman ibu tadi. Kau hanya terlihat kosong! Kosong seperti rumah yang akan kita tuju sekarang ini. Namun ada apa dengan senyummu itu Alfa? Senyum barusan yang kau lontarkan padaku sangatlah berbeda. Apakah kau benar-benar tulus melempar senyum itu? Benar-benar tulus mengucap terima kasih itu? Benar-benar tidak perlukah aku mengkhawatirkanmu? Namun tingkahmu ini semakin membuatku bertanya banyak hal adikku.”
Esok harinya, para pelayat memenuhi rumah keluarga Alfa. Beberapa kerabat yang datang dari luar kota nampak sangat terpukul dengan kepergian Ibu. Para tetangga juga demikian. Bahkan beberapa diantara mereka ada yang menanggis ketika melayat ke rumah. Ibu dikenal sebagai pribadi yang baik dan menjadi panutan warga, itulah sebabnya keluarga, tetangga dan kerabat merasa kehilangan yang sangat dalam tentang kabar kematiannya.
Alfa dan ketiga saudaranya sibuk meladeni tamu yang hadir hari itu. Mereka berempat sudah membuat keputusan untuk seminggu tinggal dan menangani rumah yang sedang ramai dikunjungi para pelayat. Hari itu rombongan guru tempat Alfa mengajar datang untuk melayat di kediaman Alfa. Tidak semua guru dapat ikut karena mereka masih harus mengajar, hanya beberapa guru yang pada hari senin mendapat jatah mengajar pagi atau yang tidak mendapat jatah mengajar sama sekali yang ikut melayat. Para guru itu dipimpin oleh Pak Kastam selaku kepala sekolah dan juga salah satu sahabat diskusi Alfa ketika di sekolah.
“Mas Alfa, saya dan teman-teman guru yang lain turut berduka cita atas kematian ibu Mas. Semoga arwah beliau diterima di sisi-Nya.”, ucap Pak Kastam.
“Terima kasih pak sudah repot-repot untuk datang jauh-jauh dari Jogja ke rumah saya ini.”, jawab Alfa sambil memberikan tersenyum.
Senyuman itu entah kenapa bisa membuat Pas Kastam (dan mungkin beberapa guru-guru lain) berpikir bahwa Alfa sudah tidak lagi dirundung kesedihan dengan kepergian ibunya. Mereka berpikir bahwa Alfa sudah bisa beraktifitas normal, layaknya tidak terjadi apa-apa. Karena senyuman yang Alfa berikan kepada mereka sangatlah ringan dan tak terlihat dibuat-buat.
“Kayaknya Mas Alfa sudah mengikhlaskan kepergian ibu ya? Kalau begitu kami ingin cepat-cepat melihat Mas Alfa kembali mengajar lagi. Siapa tau besok Mas Alfa sudah isa kembali ke Jogja dan mengajar lagi. Hehe.”, ucap Pak Kastam yang memang berharap salah satu guru favorit murid-muridnya itu segera dapat mengajar lagi.
“Saya usahakan pak.”, jawab Alfa sambil tersenyum lagi.
Fajar menguping pembicaraan Alfa dengan para rekan gurunya. Tak habis pikir baginya, ada seorang bos yang berkata semudah itu pada bawahannya. Apa Kepala Sekolah itu tidak punya nalar? Mana mungkin seseorang akan mudah lepas dari kesedihan setelah ditinggal mati, apalagi oleh ibu yang sedari kecil merawatnya. Ucapan duka dari Pak Kastam seperti sebuah basa-basi. “Saya turut berduka atas kematian ibumu. Saya harap besok anda bisa bekerja lagi dengan lebih baik.”, kira-kira jika dirangkum maka pernyataan Pak Kastam lebih mirip seperti itu menurut Fajar.
“Ada yang hilang dan ada yang mencoba berpura-pura. Ada yang hancur ada yang dapat bangkit dan berjalan lagi. Tapi kau yang mana Alfa? Apa yang sedang kau lakukan sekarang? Apakah kau hancur setelah ibu pergi. Atau kau hanya mencoba berpura-pura agar nampak seperti orang bijak di mata kami semua? Ada apa adikku?”
(bersambung)
N.B. :
* Cerita ini saya tulis dengan spontan ketika mengunjungi warnet. Saya masih belum memutuskan apakah cerita ini akan saya jadikan cerpen atau cerita yang lebih panjang lagi. Saya membiarkan tulisan ini mengalir dengan alami dan membiarkan waktu yang membuat akhirnya.
**Cerita ini juga bisa disimak melalui akun Facebook saya : https://www.facebook.com/notes/faizal-fahmi-baelul/penjara-1/1203973592968597
**Cerita ini juga bisa disimak melalui akun Facebook saya : https://www.facebook.com/notes/faizal-fahmi-baelul/penjara-1/1203973592968597
Comments
Post a Comment