Agama Dalam Kepakan Sayap

source : google

Paul Spencer Sochaczewski


Empat “agama” dalam kehidupan modern menjanjikan sebuah keuntungan yang bahkan menuntut harga yang harus dibayar untuk itu.
            
Ketika seorang misionaris Baptis fundamentalis datang ke lembah yang terisolasi ini di Papua, dia meminta konstribusi kepada masyarakat untuk membangun gereja baru, oleh sebab itu Zakaria memberikan hal yang paling berharga yang dapat dia cari sendiri – seekor burung Cendrawasih.
            
Pada awalnya para bangsa Portugis dan Belanda yang mencari rempah diperlihatkan dengan seekor burung dengan warna bulu yang cantik dan tak memiliki kaki. Para pribumi waktu itu dengan mudah memotong kaki Cendrawasih, mungkin karena mereka beranggapan bahwa burung tanpa kaki terlihat lebih estetik dan juga lebih berharga ketika melakukan barter. Bangsa Eropa dengan mudahnya beranggapan bahwa burung itu tidak memiliki kaki karena mereka menghabiskan seluruh masa hidupnya di udara, dan menggunakan bagian punggung dari betinanya sebagai sarang udara terbuka.
            
Bangsa Portugis menamainya “Passaros de Sol” atau Burung Matahari. Bangsa Belanda yang mengikuti Portugis pun menamai burung ini menggunakan kosa-kata Latin dengan nama “Avis paradiseus” atau disebut Burung Surga.
            
Ironisnya adalah Zakaria membeli jalan menuju surga dengan menghadiahkan burung yang bermakna suci dan sakral oleh penjajah Eropa tidak pernah dipikirkan oleh Zakaria.
            
Apa yang dia lakukan hanya mendukung empat “agama” yang mengingginkan ‘jiwa’nya.
            
Zakaria menunjukkanku ulat besar berwarna cokelat di taman konservatif tempatnya bekerja. Ulat-ulat ini akan sangat mencolok nantinya, karena akan berubah sebagai kupu-kupu dengan warna hitam dan kuning , dan saat terjual kepada seorang kolektor, Zakaria akan mendapat jumlah uang yang lumayan untuk satu ekornya. Dalam beberapa tahun terakhir Zakaria bekerja ekstra sebagai bentuk kepercayaannya  bahwa dia dijanjikan sebuah imbalan yang pantas, namun tanpa ada garansi.
            
Bagi para kaum konservatif, pelestarian kupu-kupu merepresentasikan sebuah fillosofi yang beranggapan bahwa konservasi hutan hujan hanya akan berkerja ketika masyarakat lokal mendapatkan keuntungan yang nyata dari itu. Dalam perkara ini, kesepakatannya ialah Zakaria sepakat untuk membantu dan menjaga ‘Taman Nasional Gunung Arfak’ di ‘kepala burung’ dari pulau Papua.
            
Sebut saja sesuka kalian : cara baru dalam menyalamatkan alam, adalah sebuah contoh dari ‘sustainable development’ dan juga janji yang tidak dapat dipercaya. Aku menyebutnya agama. Akibatnya, para konservatif, tidak kurang dan tidak lebih, meyakinkan Zakaria untuk merubah kebiasaan yang sudah dia miliki sebagai masyarakat Papua untuk mendapatkan keuntungan di masa depan. “Jangan membuka lahan di area taman nasional”, seperti yang tertulis di perarturan. “Hormati batas-batas taman nasional dan jangan sembarang masuk kecuali ketika memburu kijang denggan busur dan panah tradisional. Dan jangan pernah berpikir untuk memburu burung Cendrawasih.”
            
Para kaum konservatif ini adalah salah satu bagian dari tumor jinak agama-agama baru. Aku menghitung setidaknya ada empat jenis iman : keimanan terhadap sistem yang dijalankan pemerintahan, gereja-gereja, para pengusaha, dan juga para oknum yang mempromosikan konservasi alam.
            
Orang-orang Jawa yang menjalankan pemerintahan dari Jakarta yang jauh di sana, ingin “meng-Indonesia-kan” Zakaria dengan meyakinkannya untuk berbahasa Indonesia. Sebagai bentuk kewajiban warga Negara menjalankan filosofi Negara, Pancasila. Dan untuk menjauhkan mereka dari kampanye-kampanye pergerakan pembebasan Papua untuk kemerdekaannya.
            
Para penceramah protestan fundementalis ingin untuk “meng-Kristen-kan” Zakaria, dan melakukannya dengan membuat suara tenor Zakaria berada di salah satu penyanyi untuk paduan suara Minggu.
            
Para perusahaan besar, seperti perusahaan shampoo dan sepatu lari ingin “meng-konsumsi” Zakaria, dengan cara menyakinkannya untuk membutuhkan barang-barang yang bahkan selama berabad lalu tidak dibutuhkan oleh masyarakat Papua.
            
Dan kaum konservatif ingin “mem-berdaya-kan” Zakaria, dengan memberikannya kewajiban untuk menyelamatkan alam persis sama dengan apa yang dilakukan oleh para ahli dari barat dalam hal konservasi mereka sendiri.
            
“Percayalah kami.”, sepertinya yang ingin disampaikan oleh para evangelist di dunia modern sekarang ini. “Kami dari pemerintahan/gereja/perusahaan/pihak konservasi. Kami disini untuk membantu anda. Jika anda percaya kepada kami, meskipun kami tidak memberikan garansi pasti, hidup anda akan berkecukupan.”
            
Empat “agama” baru ini; pemerintah, gereja, perusahaan, konservasi telah mencapai hasil yang terbilang signifikan.
            
Sebagai contohnya, beberapa misionaris Kristen di Papua telah membantu untuk menghentikan kanibalisme serta pengorbanan bayi, telah mendirikan sekolah serta klinik, dan menginisiasi sebuah proyek pembangunan bersama seperti sistem irigasi dan juga perkebunan. Namun perubahan yang terjadi tidaklah begitu dalam. Semakin banyaknya orang-orang yang menjadi Kristen, dengan alasan masing-masing, tetap saja masih lumrah bagi masyarakat Papua untuk percaya ketika mereka duduk tenang di dalam gereja akan membuat mereka kebal terhadap penyakit serta lupa menutup mata ketika berdoa akan menyebabkan kebutaan.
            
Hal ini menunjukkan bahwa beberapa kelompok masyarakat di luar sana masih sangat mempercayai kepercayaan yang bersifat cargo cultist*.
            
Aku pernah diceritakan sebuah kisah yang mungkin masih diragukan. Seorang misionaris dari Amerika memiliki seorang murid, lelaki Papua muda yang berharap dia dapat menjalankan perintah Tuhan di lembah lain. Misionaris ini dan istrinya serta kedua anaknya hidup dalam prefab house** yang dipindahkan (aku sangat yakin bukan oleh mereka sendiri) ke sebuah daerah di pedalaman gunung. Meski pun dia tau bahwa dalam beberapa tahun kedepan beberapa orang Papua akan menjadi misionaris, tapi penceramah Injil asal Amerika itu hidup terasing dari masyarakat sekitar dan tidak pernah mengundang para akolit*** ke dalam rumahnya.
            
Akhirnya, orang Amerika itu merasa bahwa muridnya telah melewati segala rintangan. Hanya satu lagi tantangan yang akan dia jalani. Maka misionaris itu mnegajak murid mudanya ke rumah untuk menenggak beberapa botol Cola, kemudian dia bertanya pada muridnya, “Bagaimana kau bakal mengetahui bahwa kau adalah seorang Kristen yang taat?”. Lelaki Papua itu, yang besar di sebuah desa tanpa sistem irigrasi yang baik atau akses ke pusat kesehatan, menatap sekitar ruangan milik gurunya. Dia menatap ke arah televisi dan VCR, radio, microwave, kulkas, serta boom-box yang semuanya mengambil daya dari generator hidroelektrik kecil yang dihidupkan melalui sistem perairan di bagian ujung desa yang dulu diperintahkan oleh misionaris itu kepada masyarakat untuk membangunnya.
            
Murid muda itu memikirkan pertanyaan itu secara serius, karena menurutnya sangatlah penting untuk menjawab pertanyaan itu dengan benar. Dan akhirnya dia menjawab : “Ketika saya memiliki semua yang anda miliki.”  
            
Terdengar seperti sifat cargo cultist – yang menyebar luas di kalangan Melanesian, percaya bahwa upacara-upacara yang ditujukan kepada arwah leluhur akan memberkati mereka dengan kesehatan juga kekayaan – belum sepenuhnya hilang, malah seperti berubah ke arah ritual yang sedikit berubah dimana masyarakat Hatam dari Minyambou menyanyikan suara mereka untuk memuja Yesus tiap minggu sebelum mengumpulkan panen kentang mereka dalam kotak sumbangan.

            
Terlihat jelas bahwa ‘jiwa’ adalah organ yang paling rumit. Hari dimana aku meninggalkan Minyambou, aku mengucapkan selamat tinggal pada Zakaria. Dia menginginkan jam tanganku. Nampak seperti aku tidak akan memberikannya, dia menawarkan pertukaran. Casio-ku dengan kulit burung Cendrawasih. Aku hanya mengucapkan doa untuk kita semua.


catatan :
*cargo cultis adalah praktik religius yang muncul dalam masyarakat tradisional pra-industri sebagai akibat dari interaksi dengan peradaban yang teknologinya lebih maju.
**Prefab house adalah jenis rumah yang dapat dipindahkan ataupun dibongkar pasang. 
***Akolit adalah sebuah jabatan dalam gereja yang biasanya bertindak sebagai pelayan gereja. Dalam konteks esai ini bisa kita sebut sebagai masyarakat lokal yang membantu para Misionaris di Papua.

-Judul asli dari esai ini adalah "Religions On The Wing" yang ditulis oleh Paul Spencer Sochaczewski dan merupakan salah satu bagian dari "Curious Encounters of the Human Kind (Indonesia)" (Explorer's Eye Press, 2015)
-Paul Spencer Sochaczewski adalah seorang penulis Amerika yang bekerja pada organisasi non-pemerintahan. Dia tinggal di Jenewa dan telah bekerja di lebih dari 70 negara berbeda.

Comments