Tentang Ramadhan

sumber gambar : Google
Begitu bulan Ramadhan datang, secara perlahan-lahan kehidupan jadi berubah begitu pelan dan khidmat. Ada nuansa berbeda ketika bulan suci bagi umat muslim ini datang tiap tahunnya. Sebuah nuansa yang bersifat kontradiktif yang selalu aku rasakan tiap kali menjalankan hari-hari selama bulan Ramadhan.
                
Setiap saat aku selalu mendapat sebuah nuansa yang religius selama Ramadhan. Baik dari timeline media sosial kawan-kawanku yang berubah menjadi lebih agamis di setiap statusnya, iklan-iklan di televisi yang sangat menjual nuansa kebersamaan dan kehanggatan Ramadhan, suara tadarus Al-qur’an yang lebih sering diputar di masjid-masjid dengan pengeras suara, jamaah Tarawih tiap malam selama sebulan. Ada nuansa yang lebih damai dari berbagainya input-input yang lebih religius dibandingkan hari-hari biasa. Sebuah stimulus yang akhirnya menjadikan beberapa dari umat muslim merubah peringainya selama ini, sebuah proses penyucian diri sebagaimana yang dipercaya oleh kaum muslim di bulan penuh berkah ini.
                
Aku menyenangi tiap bulan Ramadhan, dimana beberapa teman-temanku berubah seratus delapan puluh derajat menjadi sebuah pribadi yang lebih religius. Ada dari mereka yang mampu menyelesaikan Al-qur’an dua kali selama satu bulan, ada dari mereka yang gemar bersedekah dan membantu kawan, ada dari mereka yang berhenti mengkonsumsi alkohol selama satu bulan, ada pula dari mereka yang akhirnya kembali menjalankan sholat selama bulan Ramadhan. Ada berbagai hal yang dapat merubah sifat manusia selama Ramadhan, namun mungkin hal itu tidak begitu berpenggaruh denganku. Ada hal yang ingin kaum muslim perbaiki di bulan ini, perubahan dengan belajar sabar menahan lapar dan dahaga di siang hari.

          

Aku pernah mendapat kalimat yang berbunyi “Sifat asli manusia terlihat ketika mereka kelaparan.”, namun aku lupa dimana aku mendapatkan kalimat itu. Mungkin dari salah satu buku yang aku baca atau film yang aku lihat. Ketika bulan Ramadhan, aku pun mulai percaya dengan kalimat ini. Sebuah kalimat yang menurutku relevan. Kadang di tiap perjalanan pulang di sore hari dan macetnya Jogja beberapa tahun belakangan ini, sering aku temui orang-orang yang kadang tak tahan untuk menahan emosinya karena ingin segera berbuka. Bahkan kadang aku temui beberapa orang menggerutu terkait kemacetan yang akhirnya membuat mereka terlambat berbuka. Ucapan seperti ‘ah telat buka nih’, ‘gara-gara macet nih jadi telat buka’, dan semacamnya sering aku dengarkan ketika berhenti di lampu lalu lintas. Atau ketika aku menghadiri acara buka bersama di sebuah tempat makan yang ramai pengunjung sehingga pelayannya kewalahan menghadapi pelanggan yang membludak. Banyak dari pelanggan yang akhirnya kehabisan kesabaran mereka ketika pesanan mereka belum kunjung tiba. Kadang ekspresi kekecewaan ini diucapkan dengan nada sarkas yang keras agar pelayan dapat mendengarnya atau bahkan tak jarang beberapa orang berani untuk beradu mulut dengan pelayan. Ya begitulah manusia, ketika lapar maka keluarlah aslinya mereka. Walau memang tak semuanya seperti itu, namun tak bisa dipungkiri itulah yang menjadi pemandangan yang sering ditemui di bulan Ramadhan. Sebuah bulan dimana ujian sebagai manusia sesungguhnya aku lihat.

                

Tentu aku masih ingat pelajaran pesantren kilat yang dulu dilaksanakan ketika aku SD maupun SMP oleh pihak sekolah. Sebuah penjelasan bahwa mengapa umat muslim disuruh untuk tidak makan dan minum salah satunya adalah untuk mengajarkan makna kesabaran. Dan memang bagiku lapar adalah momok tersendiri untuk  mengkondisikan kesabaran. Sebuah ujian besar yang kadang dilupakan oleh para umat muslim. Sepaham orang ibadah puasa hanya untuk menahan lapar dan dahaga saja dan akhirnya melupakan bahwa ini juga adalah sebuah ujian dari yang Maha Kuasa dalam melatih kesabaran manusia.

                

Hal-hal yang bersifat kontradiktif inilah yang aku nikmati. Sebuah penggambaran yang paling berlawanan dari kehidupan. Sifat asli manusia pun muncul, manusia yang diciptakan dari tanah yang kotor serta ruh Tuhan yang suci. Serupa Yin dan Yang, ada yang baik ada yang buruk. Dan bagaimana manusia sejatinya harus mengendalikan kondisinya agar seimbang. Sebuah hal yang berlawan yang sangat lebih nampak ketika bulan Ramadhan daripada di bulan-bulan lain. Karena pada bulan-bulan lain berbuat dosa sudah menjadi sebuah pemakluman dan di bulan Ramadhan pemakluman itu sementara hilang sehingga sifat kontradiktif itu tidak lagi terlihat samar.

                

Begitulah aku menikmati bulan Ramadhan. Menikmati hal-hal yang berlawanan. Menikmati kemanusiaan. Dan juga menikmati diriku sendiri yang masih terus berusaha mencari.

               

               



Comments