![]() |
source : google |
Pada suatu hari kelak aku tak akan mampu menarik rupiahmu. Peluh ku dan peluhmu bukan lagi menjadi sepasang kekasih yang dengan mesra bercumbu di bawah terik untuk mencipta rejeki, bagi istrimu yang kurus dan keriput dan juga anak-anakmu yang mungkin menderita perut buncit bungsu lapar. Bahkan otot-ototku yang pernah perkasa kini menggelambir bagai dua payudara nenek berusia tujuh puluh tahun. Akankah aku kuat menarik keretamu yang kadang berisi dirimu atau bahkan bisa dirimu dan lima atau enam orang asing lain?
Pada saat hari itu datang, kereta pencari uangmu sudah kau binasakan. Kau melelangnya entah pada siapa dengan uang yang menurutmu cukup untuk keluargamu dan gubukmu. Kalau memang sang nasib sial mencintaimu, sesakit-sakitnya kau akan menyembelih kereta pencari uangmu. Menjual bagian-bagiannya secara terpisah, seperti penikahan yang dijual terpisah dengan kemakmuran dan kebahagiaan. Namun setidaknya perutmu kenyang, juga perut istrimu yang mulai keriput serta perut buncit busung lapar anak-anakmu. Setidaknya kau akan berbahagia sesaat namun kemakmuran masih dijual terpisah.
Akhirnya hari itu pun datang. Dimana kau menuntunku sepanjangang jalan yang asing bagiku. Selama perjalanan kau hanya dapat menangis dan terisak. Sementara aku membisu karena memang sudah tau (atau malah tidak tau) aku harus berbuat apa. Sepanjang langkah kakimu yang rapuh itu dan jalan yang penuh kerikil kau selalu meminta maaf padaku. "Ini bukan karena aku tak mencintaimu, namun ini karena keluargaku butuh nasi. Jangan pernahlah kau marah padaku, aku harus menyambung hidup. Aku tak pernah ingin melakukan ini, asal kau tau saja ini gara-gara takdirku yang sial. Tuhan tak bisa adil pada orang kecil.", itu katamu yang beribu-ribu kali kau katakan kepadaku sepanjang jalan. Sepanjang jalan yang menyebalkan bagiku dan otot-ototku yang kendur, yang tak lagi punya daya menjadi pusat keuanganmu.
Di ujung jalan ada seorang kekar menungguku. Aku tau akhir nasibku saat kau berikan tali kekangku pada pria asing itu. Aku berpasrah, tak bisa lagi memilih takdir. Namun sudah lah, kakiku tak lagi berharga bagimu. Tubuhku hanya menjadi beban tambahan bagimu. Aku pun berubah dari kesayanganmu menjadi benalu yang makin tua makin merugikanmu. Dan oleh sebab itu kau memberikanku pada pria ini. Apa lagi yang bisa aku perbuat?
Dua hari setelah kau menyerahkanku pada pria asing itu, dia memaksaku meminum air sebanyak mungkin melalui selang-selang plastik. Hingga aku kembung dan lumpuh tak bisa berjalan lagi. Dan aku sadari waktuku akhirnya datang bersama pria asing itu mendekatiku dengan sebilah pisau tajam di tangan kirinya. Maka, aku memenuhi takdirku. Namun bukan lagi untukmu, tapi untuk pria asing ini, atau bahkan untuk pelanggan pria asing ini yang akan menikmatiku dengan saus kacang untuk (katanya) meningkatkan kejantanannya.
Di bulan Ramadhan pada tahun 2016
Comments
Post a Comment