Catatan Harian #1 : Wanita 'Timur' Pemberontak




Jum'at, 6 Mei 2016

Apakah tubuh kita terikat dengan segala aturan? Seperti terikat oleh norma, orang tua, masyarakat, instansi, bahkan agama? Apakah hak atas tubuh kita sepenuhnya sejatinya tidak ada?

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sering muncul di kepala. Aku dilahirkan di timur dan juga dibesarkan dengan kebudayaan Indonesia dengan background pendidikan agama Islam yang kental. Banyak hal-hal yang membuat kita sebagai manusia 'timur' tidak bebas bahkan terhadap tubuh kita sendiri. Ketabuan bertanya dan berpikir tentang suatu hal yang telah menurun seperti norma sangatlah terasa. Ambil contoh terhadap mereka yang merajam tubuhnya dengan tato akan mendapat pandangan sebagai kaum urakan dan radikal (ini pada masa saya kecil, berbeda dengan modern ini dimana sifat skeptis terhadap orang bertato sudah mulai hilang). Contoh lain, mereka yang melakukan operasi plastik pun akan mendapat omongan negatif dari masyarakat sekitar. Sebuah aturan tak tertulis yang menurun dari generasi-generasi sebelumnya dan sedikit dari kita yang memberanikan diri untuk menanyakan terkait aturan-aturan imajiner itu. Hal ini kadang memicu adanya norma atau hal di masyarakat yang membuat kita menjadi serba salah atas tindakan yang kita perbuat, bahkan pada tubuh kita sendiri.

Hari ini membaca tulisan Mona Eltahawy, seorang penulis muslimah dari Mesir, berjudul "Sex Talk for Muslim Women" di New York Times. Dalam tulisannya, dia mengutarakan permasalahan mendalam wanita-wanita Timur Tengah atau mereka yang dibesarkan dengan kebudayaan yang religius oleh keluar mereka seperti kebanyakan negara-negara di Asia terkait seks. Banyak hal yang mengekang seorang wanita muslim, terutama mereka yang mengenakan hijab, unutuk  merasakan pengalaman seks di luar ikatan pernikahan. Entah itu kekangan yang bersifat dari masyarakat, orang tua, adat, bahkan agama.

Ada keterkekangan dan penjajahan terhadap hak penuh tubuh kita sendiri menurut Eltahawy. Banyak faktor-faktor yang tidak masuk akal yang kadang mengekang kita melakukan apa yang kita inginkan. Sebagai contoh adalah norma adat dan masyarakat yang tak relevan lagi di era modern, bahkan beberapa aturan agama yang terlalu kolot menurutnya. Ada perlawanan yang jelas dalam tulisannya, ada iba yang diharap dapat direspon oleh pembaca dalam tulisannya. 

Aku tak begitu paham akan perasaan apa sebenarnya yang ingin Eltahawy sampaikan, mungkin karena aku seorang laki-laki. Namun aku jadi teringat terhadap sosok penulis Mesir lain yang juga seorang wanita "pemberontak", Nawal El-Saadawi. Ada kesamaan di keduanya, sama-sama memperlakukan diri dan tubuh mereka bebas tanpa ikatan norma, keluarga, bahkan agama. Mereka bebas mau melakukan apa saja dengan tubuh mereka tanpa ada keterkekangan disana, karena itu hak pribadi mereka terkait tubuh mereka sendiri.

Lalu, apakah itu benar? Manusia-manusia 'timur' terlalu banyak terkekang, bahkan untuk bertanya.


N.B:
*Menulis catatan harian ini jadi mengingatkan saya terkait beberapa novel karya Nawal El-Saadawi.  
**Catatan Harian merupakan 'label' atau 'kategori' baru yang saya tambahkan dalam blog ini dengan sebuah tulisan atau pemikiran yang sama persis saya catat dalam buku harian saya. Semoga pembaca menikmati.

Comments