Selalu Bersama, Dalam Gelap Maupun Terang


 Nicole C. Kear




Tidak ada cara yang bagus untuk menceritakan pria baru dalam hidupmu bahwa kau akan menjadi buta. Aku memilih opsi paling buruk yang pernah ada : Aku menceritakan kabar itu setelah berhubungan seks, dan aku sudah mengemasnya sedemikian rupa.

Di usia 22 tahun, David adalah seorang penulis novel yang baru saja memulai karirnya, dan aku tau persis jika aku menceritakan keadaanku dengan amat puitis, dia akan sangat tertarik, setidaknya dalam level naratif. Jadi, berbaring disampingnya dalam kegelapan, aku menceritakan semuanya bagai novel Gothic.

Aku memulai cerita ini tiga tahun yang lalu, di umurku yang ke 19, aku menyadari tidak bisa melihat bintang-bintang pada malam hari. Hal itu nampak kurang begitu berarti sampai suatu ketika menjadi tanda-tanda awal dari Degenerative Retinal Disease*. Doktor mengatakan padaku bahwa aku akan kehilangan kemampuan melihat dalam jangka waktu 10 hingga 15 tahun kedepan – pertama penglihatan malamku dan penglihatan sekelilingku, kemudian, penglihatan pusatku juga.

Aku akhirnya sadar kehilangan penglihatan mengajarkanku untuk benar-benar melihat. Aku akan menjadi buta secara tegar, tidak merenggek, dengan melihat dan melakukan hal-hal yang lebih dari yang dilakukan orang-orang dalam hidup mereka selama sedekade kedepan.

Semuanya benar terjadi, tapi hanya menjadi bagian dari cerita. Bagian yang indah.

Romantisme kami masih baru, dan aku merasa gugup tentang bagaimana dia akan bereaksi dengan pengakuanku. Responnya waktu itu amat indah dan puitis sama seperti cerita itu sendiri.

Pada pertemuan berikutnya, dia datang dengan namaku di lengannya. Enam huruf kecil terpatri di kulitnya, permanen. Seperti yang kuduga itu sebuah tato, dia memberitahuku bahwa aku telah menerangi kegelapannya dan kini giliran dia yang akan menerangiku. Tak peduli apapun yang akan terjadi, katanya, kami akan menghadapinya bersama.

Aku bertemu dengan David saat semester terakhirku di kampus, kami sama-sama mengambil jurusan Bahasa Inggris dan teater. Aku menyukai kecerdasannya namun tetap sederhana, lucu tapi tak pernah kasar. Aku menyukai bagaimana dia melihatkan ketulusannya, sangan berbeda dari keyakinanku memandang hal yang mempesona dan masuk akal. Ada sebuah keyakinan pada dirinya dan itu membuatku merasa aman sejak pertama kali aku didiagnosis akan menjadi buta.

Saat David merasa terbebani, aku meneranginya. Saat dia kembali pulih, aku membebaskannya. Aku membuatnya tertawa dan memaksanya melakukan hal-hal yang membuatnya ketakutan, seperti pindah ke Los Angeles.
Dia adalah bocah dari kota kecil di bagian selatan yang selalu bermimpi untuk tinggal di California namun tak pernah siap untuk pergi – hingga pada akhirnya aku membawakan California kepadanya.

Di Los Angeles, David membantuku dengan audisi aktingku dan aku membantu meng-edit naskahnya.

Di akhir pekan kami membuka atap mobil dan berkendara sepanjang Jalan Pacific Coast dengan  mendengarkan musik favorit kami sekeras mungkin. Kami setuju bahwa The Golden Hills nampak seperti punggung singga yang sedang tidur. David mengemudi berjam-jam dengan satu tangan, karena tangannya yang lain menggenggam erat tanganku.

Hidup kami bagaikan sebuah kisah romantis, dan menjadi buta benar-benar seperti sebuah anugerah daripada sebuah cobaan, karena akhirnya hal itu menyadarkan kami untuk hidup dengan sesuatu hal yang teramat penting. Kebutaanku waktu itu sangatlah puitis karena itu belum terjadi.

Dalam bayanganku, kebutaan adalah hal yang luar biasa, luhur, serta sederhana. Pada kenyataannya, semua itu hanya cerita yang berbeda.

Kenyataannya, itu sangatlah tidak menarik, melelahkan dan juga berantakan. Kebutaan merubahmu dengan cara yang mengejutkan, beberapa bersifat positif dan beberapa tidak. Seperti sebuah realita saat kita sudah menikah.

10 tahun setelah David mentato namaku di lengannya, kisah kami kurang lebih seperti cerita cinta Gothic daripada cerita-cerita Raymond Carver** : malapetaka yang terjadi hampir tiap hari. Di ulang tahunku yang ke 33, pertama kalinya dalam 10 tahun terakhir  aku menanggis sendirian di Brooklyn.

Aku harus berhenti berakting karena aku tak dapat lagi menguasai panggung dan properti yang mulai kabur di mataku. Kami akhirnya pindah ke Brooklyn, kampung halamanku, karena aku sudah merasa tidak bisa melanjutkan lagi. Kami menikah dan memiliki seorang putra yang sehat dan dianugerahi dengan mata yang indah.

Aku merasa bahagia dapat melihat sedetil itu, dan kembali berbahagia saat aku dapat melihat pipi bundar dan bibir penuh dari putriku yang baru lahir dua tahun kemudian. Aku melihat warna mata mereka yang berwarna biru tua, dan aku melihat perubahan pada mereka dengan rasa bahagia. Tapi aku juga merasakan perubahan, walau dengan rasa takut.

Kelahiran putriku tepat 10 tahun aku di diagnosis, dan aku sudah mulai kehilangan sebagian besar penglihatanku untuk disebut sebagai seorang tuna netra. Penglihatanku mulai berkurang seperti aperture dalam kamera, meninggalkanku dengan lorong penglihatan yang mengerikan.

Aku mulai sering menabrak orang-orang dan juga benda-benda di sekitarku, seperti monkey bars, keran pemadam kebakaran, dan lemari yang dibiarkan pintunya terbuka. Aku mulai mengidap katarak yang membuatku sulit untuk menjadi seorang pejalan kaki normal, bahkan membuatku sangat kesusahan dalam membaca.

Aku terlalu sibuk menikmati penglihatanku hingga aku tidak pernah menyiapkan diriku untuk kehilangannya. Aku tak pernah menceritakan penyakitku, bahkan pada mereka yang mengetahui aku mengidap penyakit ini.

Merahasiakan kehilangan penglihatanku sangat menakutkan bagiku. Aku sangat ketakutan jikalau saat berjalan dengan stollerku dan masuk ke got atau bahkan kehilangan anakku saat mereka bermain di taman, aku sangat ketakutan tentang masa depan dimana aku tak bisa lagi melihat wajah-wajah mereka.

Kepercayaan diriku akhirnya menurun juga. Aku menyerah menggunakan heels karena aku selalu terjatuh saat memakainya, menyerah menggunakan eyeliner karena aku tidak bisa memakainya dengan sempurna, menyerah untuk membaca karena aku sudah mulai tidak dapat membaca. Aku merasa seperti belum kehilangan penglihatanku namun ada bagian di dalam diriku yang membuatku demikian.

Karena aku tidak memiliki bantuan lain selain David, yang selama ini telah menjadi mataku untuk melihat. Selain itu, dia masih harus membesarkan dua orang anak dan juga mengarungi beratnya pernikahan.

Di ulang tahunku yang ke 33, David dan aku sepakat untuk memanggil jasa baby sitter untuk menjaga anak kami dan merencanakan makan malam bersama teman kami. Aku menghabiskan waktu berjam-jam untuk bermake-up di depan cermin, namun David memperhatikannya sedikit, umm, bahkan mungkin tidak sama sekali. Dia memberiku buku Anne Lamott*** yang tidak bisa aku baca.

Dalam perjalanan kami menuju restoran, kami bedebat tentang perlukah kami memiliki anak ketiga atau tidak.

Aku mengingginkannya tapi terlalu takut aku tidak bisa merawatnya ketika lahir dengan penglihatanku yang mulai hilang. David meyakinkanku bahwa dia akan selalu mengikuti arahanku dalam merawat bayi, namun dia tidak pernah melihat bagaimana hal itu bekerja. Kami pun sudah mulai kekurangan (uang, waktu, dan tentu juga penglihatan).

Setengah perjalanan menuju restoran, pembahasan kami berubah menjadi adu argumen, yang berakhir dengan David marah dan menyuruhku untuk pergi ke pesta tanpa dirinya. Aku menghentikan langkahku, segera menepi dan menanggis.

Aku tidak berdaya. Aku bisa pulang sendiri. Tapi aku tidak bisa datang ke pesta tanpa dirinya. Aku tidak dapat melihat dengan jelas untuk menemukan temanku disana atau untuk membaca menu. Aku membutuhkan David dan dia marah padaku, dan aku membenci kemarahannya.

Aku ingat bagaimana aku menceritakan padanya bagaimana aku akan menjadi tuna netra yang tegar, tidak merenggek, dan bagaimana dia berjanji kami akan selalu bersama dalam gelap maupun terang. Nampaknya kami berdua telah salah.

Beberapa menit kemudian, bot cokelat besar milik David yang selalu  membuatku tersandung saat dia meninggalkannya di depan pintu, melangkah kearahku.

“Kau tidak bisa meninggalkanku begitu saja,” kataku, “Aku membutuhkanmu.”
“Aku tau,” katanya.
“Aku membenci ini semua.”
“Aku juga.”
Lalu dia menggenggam tanganku dan berkata, “We’d figure it out.”

Kami masih mencari tahunya. Ada hal yang perlahan-lahan mulai hilang, sebuah perasaan yang amat penting, yang kau pertahankan terus hingga akhir. Dan setelah kau menemukan keseimbangan yang nyaman, pasti ada hal yang bergeser dan membuat kita harus  menyeimbangkannya lagi.

Tak lama setelah ulang tahunku, aku menghubungi New York State Commission for The Blind, dimana meraka mengajariku menggunakan tongkat berjalan dan juga teknologi adaptif. Aku mempunyai kaca pembesar dimana aku tak perlu David untuk menakar Tylenol**** anak kami atau mengatur termostat. Aku membaca buku Anne Lamott dengan mudah menggunakan e-reader yang David hadiahkan padaku saat natal.

Aku telah kehilangan banyak hal dan aku mulai berdamai dengan apa yang sudah diambil dariku.

Setahun kemudian, David mengajakku makan malam dan dia berkata ada suatu hal yang dia ingin bicarakan. Wajahnya nampak kabur dibalik sinar lilin, tapi aku dapat melihat bibirnya  tersenyum.

“Aku pikir kita harus memiliki bayi lagi,” katanya.
Aku mengedipkan mataku beberapa kali. “Tapi bagaimana tentang --- --“
David menggenggam tanganku dan langsung menyela : “We’ll figure it out.”

Dia berkata dengan kepastian yang sama saat dia membuat namaku menjadi tato di lengannya bertahun-tahun yang lalu. Kepercayaannya membuat kepercayaanku bangkit. Kami akan memiliki anak lagi, dan itu adalah hal yang berat tapi juga hebat, dan kami akan tetap bersama.

Bersama di saat-saat romansa ala Ghotic dan bersama di saat romansa ala Raymond Carver. Bersama di saat mudah maupun susah. Apapun itu – puitis, membosankan dan apapun yang berada diantaranya – cerita kami akan selalu menjadi apa yang akan kami bagi satu sama lain.




Catatan:


  • Essay ini berjudul "Together Always, in Darkness and in Light" yang ditulis oleh Nicole C. Kear dan dipublikasikan oleh The New York Times baik i edisi cetak maupun website resmi mereka dalam kolom "Modern Love" di tahun 2015.
  • Nicole C. Kear adalah penulis kelahiran New York yang essay-essaynya dimuat di The New York Times, Good Housekeeping, New York, Psychology Today, Parents, dan The Huffington Post. Dia juga mengajar tentang menulis di NYU School of Professional Studies. Dia terkenal dengan memoarnya berjudul “Now I See You”.


* Degenerative Retinal Disease adalah penurunan fungsi retina yang terjadi karena sel-sel mati pada retina.
** Raymond Carver adalah pujangga dan penulis cerita pendek kelahiran Amerika Serikat di era 1980-an.
*** Anne Lamott adalah seorang novelis dan penulis non-fiksi Amerika yang juga dikenal sebagai aktifis politik, public speaker, dan guru menulis.
**** Tylenol adalah merk obat pereda demam baik untuk dewasa maupun anak.

Maret 2016 © Hak cipta Debu AtomikNicole C. Kear, dan The New York Times. Tidak untuk ditukar, dijual atau digandakan.

Comments