Bisnis kuliner
memang menjadi jamur di musim hujan akhir-akhir ini. Dari berbagai bisnis
kuliner yang hadir di beberapa tahun terakhir ini, bisa aku katakan bahwa
bisnis kuliner dengan konsep cafe lebih mendominasi selain bisnis kuliner
online. Sebenarnya bukan hanya bisnis kuliner dengan konsep cafe saja yang
menjadi primadona, melainkan juga tempat-tempat kuliner yang menawarkan suasana
nyaman sehingga para pelanggan ingin berlama-lama disana atau ingin segera
kembali disana.
Di Yogyakarta
sendiri sudah banyak tempat ngopi hingga tempat makan berat yang menawarkan
suasana yang membuat rindu para pelanggannya. Sebut saja salah satunya Warung
Kopi Mato yang terletak di kawasan Pringwulung. Dengan konsep sederhana,
merakyat, dan juga kekerabatan yang intim, para pelanggan bahkan bisa
menghabiskan waktu hingga tiga jam lebih hanya untuk menikmati secangkir kopi. Masih
ada juga Angkringan KR yang tak kalah tenar dan juga selalu ramai pengunjung. Padahal
angkringan ini hanya terletak di pinggir jalan raya (tepatnya di depan kantor
Kedaulatan Rakyat) dan hanya bermodal tikar bagi para pengunjungnya. Namun tak
pernah aku lihat mereka sepi pengunjung.
Perihal seperti
ini akhirnya menunjukkan bahwa bisnis kuliner tak selalu tentang betapa lezat
menu yang ditawarkan. Contoh-contoh seperti ini menunjukkan bahwa para
pelanggan pun mencari sebuah suasana yang sejalan dengan ekspektasi mereka
ketika makan di tempat yang mereka tuju. Seno Gumira* pernah menulis tentang
para Homo Jakartanensis** yang hobi
memilih tempat makan berdasar suasana yang ditawarkan oleh sebuah tempat makan
sebagai pelarian dari tekanan-tekanan berat kota metropolitan, Jakarta, meski
artinya mereka harus membayar lebih untuk mendapatkan suasana itu.
Untuk permasalahan
ini saya sejalan dengan pendapat penulis senior Indonesia tersebut. Dalam alibinya
sebagai manusia utuh, kita membutuhkan sebuah waktu barang satu jam untuk
menikmati suasana. Di era dimana semua hal yang ada menuntut kita, bukan sebuah kesalahan besar untuk
menikmati sebentar sebuah suasana. Anggap saja pelarian ini sebagai penyegar
suasana hati serta pikiran dari kerasnya jaman globalisasi.
Ini pun
yang terjadi dengan pilihanku dalam memutuskan ingin makan dimana. Biasanya aku
melandaskan keputusanku berdasarkan waktu saat ingin makan dan juga suasana
hati saat ingin makan. Aku memiliki sebuah warung nasi goreng serta warung kopi
yang menjadi favoritku. Jujur saja, keduanya aku pilih berdasarkan suasana yang
mereka tawarkan, bukan dari lezatnya menu yang mereka tawarkan. Hingga akhirnya
kedua tempat ini selalu menjadi pelarianku ketika aku membutuhkan waktu untuk
berpikir atau waktu untuk menyendiri. Aku bahkan bisa menghabiskan waktu hingga
lima jam hanya duduk di warung kopi favoritku.
Dalam perihal
eksistensialisme, Albert Camus*** sering menginggatkanku agar selalu
mempertanyakan diri sendiri serta mencari waktu untuk menikmati diri sendiri. Meski
halauan Absurdisme Camus terkadang di-interpretasi-kan berbeda oleh
orang-orang, setidaknya poin-poin itu yang dijadikan interpretasi pribadiku
dari L’Étranger ****. Oleh sebab musabab itu aku
tak pernah keberatan menghabiskan waktu dan uang di sebuah warung kopi hanya
untuk membeli suasana. Dalam ritual yang bersifat individual dan intim ini,
bagiku banyak sekali hal yang akhirnya membuatku, bukan hanya mengenal diriku
sendiri, tapi juga tau apa yang seharusnya aku perbuat. Contoh saja, hampir
semua tulisanku bermula dari ritual menyendiri di warung kopi. Hampir semua
posting di blog ini, cerpen-cerpen (yang bahkan belum dipublikasikan), hingga
catatan harian yang bersifat pribadi tercipta dari proses berdiskusi dengan
diri sendiri di warung kopi. Bagiku membeli suasana sama halnya dengan membeli
ide.
Inti dari
membeli suasana sendiri bagiku sebenarnya bukan hanya membeli ide. Jauh dari
konsepsi itu ada hal yang lebih besar. Sayangnya banyak orang-orang yang serupa denganku, tapi mereka benar-benar
hanya ingin membuang waktu saja berjam-jam di sebuah warung kopi. Hal
yang lebih besar bagiku selain membeli ide, membeli suasana bagiku sejatinya
adalah membeli waktu tersendiri untuk kembali. Kembali menjadi manusia
seutuhnya. Menerima kenyamanan suasana sehingga aku bisa berdialog secara
telanjang dengan diriku sendiri. Tanpa batas, tanpa sekat, tanpa tuntutan. Secara
harfiah (mungkin ini terlalu berlebihan) kembali mengenali diriku sendiri
sebagai manusia seutuhnya, bukan hanya menjadi mahasiswa tingkat akhir yang
sibuk dengan rutinitas zoon politicon-nya
dari pagi hingga malam.
*Seno Gumira Ajidarma adalah penulis dari generasi baru di sastra Indonesia. Dia juga terkenal karena dia menulis tentang situasi di Timor Timur tempo dulu. Pada 2014, dia meluncurkan blog bernama PanaJournal (www.panajournal.com) tentang human interest stories bersama sejumlah wartawan dan profesional di bidang komunikasi.
** Homo Jakartenensis adalah sebutan dari Seno Gumira Ajidarma untuk orang-orang Jakarta pada kumpulan tulisannya yang membahas tingkah laku masyarakat Jakarta yang kemudian dibukukan dalam buku berjudul “Affairs”.*** Alber Camus adalah seorang penulis serta filsuf Perancis kelahiran Aljazair. Seringkali ia digolongkan sebagai seorang penulis eksistensialis, tetapi kemungkinan ia lebih tepat disebut sebagai seorang absurdis. Pada tahun 1957 ia dianugerahi Penghargaan Nobel dalam Sastra.
**** L’Étranger (Orang Asing) adalah sebuah karya sastra berbentuk roman karangan Albert Camus. Roman dalam bahasa Perancis ini ditulis pada tahun 1942. Lokasi ceritanya adalah di Aljazair, tempat Camus sendiri lahir dan besar. L’Étranger telah diterjemahkan oleh Penerbit Obor dengan judul “Orang Asing”.
Comments
Post a Comment