Oleh : Faizal Fahmi Baelul
Pagi ini aku mengingat perayaan-perayaan Imlek yang selalu berlangsung meriah di rumah. Aku lahir dan tumbuh di Kec. Parakan, sebuah kecamatan kecil di Kabupaten Temanggungyang mayoritas penduduknya adalah etnis Jawa dan Cina, meski orang Jawa tetap mendominasi sebagai kaum mayoritas. Oleh sebab itu sudah menjadi kebiasaan bahwa perayaan Imlek di Parakan adalah salah satu perayaan yang ditunggu-tunggu, bukan hanya oleh etnis warga Cina tapi juga etnis warga Jawa. Itulah sebab aku mencintai Parakan, sebuah tempat yang menjadikan aku belajar tentang bertoleransi dalam perbedaan. Unity in diversity.
Biasanya ketika Imlek, aku menghabiskan waktu masa kecilku dengan menonton atraksi liong dan barongsai. Pawai liong dan barongsay biasanya akan mengambil rute keliling kecamatan. Di mulai dari klentheng, kemudian menuju jl. Diponegoro, lalu jl. Kosasih, hingga kembali lagi ke klentheng. Aku biasanya menyaksikan pawai liong dan barongsai ini di rumah almarhum nenekku yang jaraknya dekat dari kantor kecamatan dan dekat pula dengan rute pawai.
Aku selalu menganggap perayaan Imlek di Parakan adalah hal yang memang layak untuk ditunggu, terlepas dari keyakinan agama masing-masing. Aku juga ingat waktu keci bersama kakakku, aku digendong olehnya untuk memberi makan angpao kepada barongsay. Sangat meriah dan juga merakyat, semua lebur dalam perayaan itu tanpa memandang etnis. Namun kemeriahan perayaan-perayaan itu menurut abahku tidak sama seperti dulu. Menurut beliau jaman kecilnya perayaan Imlek di Parakan jauh lebih meriah dibanding dimasa kecilku. Beliau bercerita bahwa pada jamannya, perayaan Imlek bukan hanya pawai liong dan barongsai saja, tapi juga ada pertunjukan wayang potehi yang diadakan di klentheng. Beliau juga bercerita sering menonton pertunjukan wayang potehi bersama teman-temannya pada masa kanak-kanak dulu. Aku benar-benar ingin menonton pertunjukan wayang potehi yang aku pikir sangat menarik dari cerita-cerita abah kepadaku.
Ada satu hal lain yang menarik tiap Imlek. Hujan, ya hujan! Seingatku tiap kali Imlek (selama aku di Parakan), pasti lewat tengah hari hujan akan mengguyur lebat bahkan bisa hingga larut. Abah pun pernah menjelaskan padaku waktu kecil dulu, tentang hujan di hari Imlek. Katanya jika pada hari Imlek turun hujan besar, maka itu adalah sebuah pertanda tahun kedepan adalah tahun yang baik dan penuh berkah. Penjelasan ini beliau dapat karena beliau dulu bersekolah di SMP Remaja, sebuah SMP swasta yang mayoritas murid-muridnya adalah siswa Cina. Oleh sebab itu Abah yang seyogyanya keturunan Arab-Jawa pun dekat dengan etnis Cina di Parakan. Bahkan hingga kini bercucu pun beliau masih menjaga hubungan baik dengan kawan-kawanya itu. Abah memberikan contoh nyata bagiku untuk menghormati perbedaan etnis dan agama melalui persahabatnnya dengan teman-temannya yang beretnis Cina.
Setelah menginjak tahun ke empat di Jogja, semenjak itu pula aku tidak mengikuti perayaan Imlek. Bahkan aku tidak peduli akan salah satu hari libur nasional ini. Mungkin karena perayaan Imlek disini tidak semeriah dan merakyat seperti di Parakan. Namun kali ini berbeda. Secara kebetulan (mungkin) aku sadar bahwa hari ini adalah Imlek. Mungkin karena kebiasaan bahwa tiap Imlek pasti selepas tengah hari akan turun hujan deras, jadi aku memutuskan pergi beraktifitas lebih pagi agar tidak kehujanan di jalan. Pun diyakinkan pula dengan prediksi cuaca di smartphone yang menunjukkan akan terjadi hujan badai. Namun hingga malam ini, langit masih saja cerah. Iya sore tadi memang terlihat mendug, tapi tidak turun hujan. Mungkin kah ini tahun yang buruk?
Kemarin pas imlek aku pergi ke bantul. Dari pagi hujan terus, begitu siangnya balik ke jogja, eh ternyata masih kering. Jadi ini tahun yg 'baik' atau 'buruk'?
ReplyDeleteTerima kasih telah berkomentar. Penilaian apakah ini tahun yang baik atu buruk bukan hanya dari perayaan etnis tersebut, melainkan juga letak geografis dari penganutnya. Seperti contohnya di keluarga saya setiap lebaran kalau tidak ada lontong, rasanya kurang, sementara untuk keluarga lain ketupatlah yang menjadi makanan identik ketika lebaran. Oleh sebab itu saya tidak berani menyimpulkan karena pernyataan itu berasal dari etnis Cina dengan letak geografis tertentu, sementara di Sleman saya tidak begitu dekat dengan etnis Cina sehingga mungkin disini memiliki perbedaan tersendiri.
Delete