Feminisme yang Menjajah Ruang Tunggu Bengkel


               
Source : Google
Siang tadi saya sedang melakukan servis untuk motor saya di daerah Jl. Colombo. Bengkel yang saya datangi ini adalah bengkel terdekat dan termahsyur di daerah sekitar kampus saya. Banyak kawan-kawan mahasiswa selalu merekomendasikan bengkel ini sebagai tempat servis motor yang sudah mulai butuh perawatan. Dari harga yang lebih terjangkau, juga pelayanan yang memuaskan membuat kawan-kawan saya menyarankan saya untuk menservis motor saya yang sudah saya tinggal hampir 3 hari di parkiran kampus karena permasalahan yang saya tidak tau sebabnya. Namun bukan karena alasan pelayanan dan harga saja yang membuat beberapa kawan saya menyarankan saya menuju bengkel tersebut, tapi juga karena disediakan soft drink gratis bagi para pelanggan yang menunggu motornya diservis. Saya pikir ini hal yang tidak ada hubungannya, antara bengkel dan soft drink, tapi mau bagaimana lagi mahasiswa kalau dengar kata gratis pasti akan seperti itu tingkahnya.

                 Karena perkuliahan masih libur, maka saya tidak memiliki kegiatan alias benar-benar selo kalau kata kawan-kawan saya. Sebab dari ke-selo­-an itu akhirnya membuat saya memutuskan untuk menunggu motor saya diservis (maklum biasanya saya tinggal untuk kegiatan lain dan mengambilkan jika sudah dihubungi pihak bengkel). Mencari tempat duduk untuk menunggu, akhirnya saya memilih menunggu di salah satu ruang yang berada di dalam bengkel. Sebenarnya pihak bengkel sendiri menyediakan beberapa kursi tunggu, namun kebanyakan pelanggan lebih memilih menunggu di kursi-kursi yang disediakan di serambi bengkel, sementara saya lebih memilih ruang tunggu yang berada di dalam bengkel.

                Ruang tunggu yang berada di dalam lebih menggambarkan sebuah gambaran ruang tunggu sebenarnya,daripada kursi panjang yang berjajar dipasang di bagian depan bengkel. Ruang tunggu itu tidaklah besar, kemungkinan hanya 1,5 x 1,5, namun ruang tunggu itu benar-benar sebuah ruang tunggu. Sebuah TV terpasang di rak yang lumayan tinggi untuk mengusir kebosanan pelanggan, ada juga kulkas berisi soft drink yang bisa dibeli pelanggan jika mereka kehausan (dan dari kulkas yang samalah para pelanggan yang menunggu mendapat soft drink gratis),dan sebagai pelengkapnya tentu saja sebuah rak yang khusus untuk memajang majalah-majalah lama dan Koran-koran kusut untuk dibaca oleh para pelanggan. Di ruang sekecil itu dan benar-benar ruang yang diciptakan khusus untuk menunggu hanya saya sendiri yang duduk disana, pelanggan lain (kalau tidak salah ada sekitar 4-5 orang lain yang juga menunggu motornya diservis seperti saya) lebih memilih untuk menunggu di luar tanpa hiburan selain smartphone dan lalu lalang kendaraan yang melewati mereka tanpa henti di sepanjang Jl. Colombo.

                Seperti kebanyakan masyarakat modern, saya menghabiskan waktu menunggu dengan earphone yang tak lepas dari kedua telinga saya. Kemudian saya mengambil buku yang baru beberapa hari lalu saya beli dan membacanya. Sekitar dua jam saya menunggu dengan larut dalam playlist music saya serta buku yang saya baca, akhirnya saya mulai lelah menunggu dan memilih menghentikan kedua aktifitas saya sejenak. Dalam kebosanan menunggu, entah kenapa mata saya tertuju pada rak buku yang memang disediakan untuk pelanggan yang bosan. Namun saat saya ingin memilih majalah yang ditawarkan akhirnya saya merasa binggung sendiri. Bagaimana tidak, ternyata majalah yang terpampang disana seluruhnya adalah majalah wanita! Akhirnya saya beralih mencari koran yang ternyata adalah koran terbitan lama sehingga membuat saya tidak tertarik membacanya. Sungguh sebuah hal yang menarik dimana bengkel yang memiliki kesan kotor dan maskulin, tempat yang biasanya didominasi kaum adam, malah menyediakan sebuah bahan bacaan yang feminis. Seperti sebuah penjajahan yang tidak dirasakan oleh mereka yang terjajah. Ketika saya amati (dengan perhitungan sekenanya) kira-kira 80% isi rak itu adalah majalah wanita, entah itu majalah memasak, majalah rumah tangga, atau pun majalah fashion. Sementara sisanya hanya koran-koran kemarin yang beritanya sudah usang.

                Pada awalnya saya tidak begitu berpikir serius dengan gejala ini, pikir saya paling majalah-majalah itu kepunyaan si nyonya pemilik bengkel. Mungkin rumahnya sudah terlalu sesak sehingga majalah-majalah itu dihibahkan agar dibaca oleh para pelanggan yang bosan menunggu atau bahkan mungkin hanya sebagai pajangan wajib yang harus ada di ruang tunggu. Namun akhirnya penasaran saya timbul. Kenapa barang berbau “feminim” bisa berada di daerah yang seyogyanya berbau maskulin? Jikalau saya menjadi pemilik bengkel apalagi dengan keyakinan saya bahwa pelanggan yang datang rata-rata adalah kaum lelaki, maka saya akan membuat rak buku itu penuh dengan majalah-majalah otomotif maupun olahraga yang banyak digemari oleh para kaum lelaki. Karena pelanggan wanita tidak seberapa banyaknya dengan pelanggan pria, jadi menurut saya itu adalah keputusan yang amat wajar. Namun mungkin si pemilik bengkel mempunyai pemikiran lain. Mungkin saja dia berpikiran tidaklah penting memajang majalah jenis tertentu di ruang tunggunya, tak akan bedanya saat mengganti jenis majalahnya, toh orang-orang Indonesia tidak banyak yang gemar membaca. Maka jadilah majalah-majalah itu sebagai penggugur kewajiban sebuah kelengkapan ruang tunggu standar. Jadi seperti ada pemakluman tentang budaya membaca yang minim dari para pelanggan yang membuat pemilik toko tidak terlalu memusingkan masalah majalah ini. Toh mungkin pikirnya ada atau tidak adanya majalah para pelanggan tidak akan membacanya, namun mereka lebih memilih menonton TV yang memang sudah dia sediakan, karena tulisan selalu akan kalah dengan audio-visual. Bisa jadi memang si pemilik menghibahkan majalah-majalah langanan istrinya yang tak terpakai pada ruang tunggu itu sebagai pelengkap saja.


                Setelah dua setengah jam menunggu, akhirnya motor saya selesai juga diservis. Keluarlah saya dari ruang tunggu eksklusif itu dan menuju meja kasir. Sembari menunggu kasir yang sedang menghitung uang yang harus saya bayarkan, terlihatlah mereka para pelanggan lain yang menunggu di luar tanpa media penghilang kebosan meraka. Sekitar 6-7 pelanggan (semuanya laki-laki) duduk disana, sama lamanya dengan saya atau mungkin lebih lama, dan hanya saya seorang yang menunggu di ruang tunggu kecil itu. Akhirnya seraya meninggalkan bengkel saya berpikir, “Mungkin karena majalah-majalah “feminim” itu yang membuat para pelanggan (laki-laki) tidak mau menunggu di ruang tunggu yang lebih nyaman itu.”.

Comments