![]() |
Source : Google |
Karena perkuliahan masih libur, maka saya tidak memiliki kegiatan alias
benar-benar selo kalau kata
kawan-kawan saya. Sebab dari ke-selo-an
itu akhirnya membuat saya memutuskan untuk menunggu motor saya diservis (maklum
biasanya saya tinggal untuk kegiatan lain dan mengambilkan jika sudah dihubungi
pihak bengkel). Mencari tempat duduk untuk menunggu, akhirnya saya memilih
menunggu di salah satu ruang yang berada di dalam bengkel. Sebenarnya pihak
bengkel sendiri menyediakan beberapa kursi tunggu, namun kebanyakan pelanggan
lebih memilih menunggu di kursi-kursi yang disediakan di serambi bengkel,
sementara saya lebih memilih ruang tunggu yang berada di dalam bengkel.
Ruang tunggu yang berada di
dalam lebih menggambarkan sebuah gambaran ruang tunggu sebenarnya,daripada
kursi panjang yang berjajar dipasang di bagian depan bengkel. Ruang tunggu itu
tidaklah besar, kemungkinan hanya 1,5 x 1,5, namun ruang tunggu itu benar-benar
sebuah ruang tunggu. Sebuah TV terpasang di rak yang lumayan tinggi untuk
mengusir kebosanan pelanggan, ada juga kulkas berisi soft drink yang bisa dibeli pelanggan jika mereka kehausan (dan
dari kulkas yang samalah para pelanggan yang menunggu mendapat soft drink gratis),dan sebagai
pelengkapnya tentu saja sebuah rak yang khusus untuk memajang majalah-majalah
lama dan Koran-koran kusut untuk dibaca oleh para pelanggan. Di ruang sekecil
itu dan benar-benar ruang yang diciptakan khusus untuk menunggu hanya saya
sendiri yang duduk disana, pelanggan lain (kalau tidak salah ada sekitar 4-5
orang lain yang juga menunggu motornya diservis seperti saya) lebih memilih
untuk menunggu di luar tanpa hiburan selain smartphone
dan lalu lalang kendaraan yang melewati mereka tanpa henti di sepanjang Jl.
Colombo.
Seperti kebanyakan masyarakat modern, saya menghabiskan waktu menunggu
dengan earphone yang tak lepas dari
kedua telinga saya. Kemudian saya mengambil buku yang baru beberapa hari lalu
saya beli dan membacanya. Sekitar dua jam saya menunggu dengan larut dalam playlist music saya serta buku yang saya
baca, akhirnya saya mulai
lelah menunggu dan memilih menghentikan kedua aktifitas saya sejenak. Dalam
kebosanan menunggu, entah kenapa mata saya tertuju pada rak buku yang memang disediakan untuk pelanggan
yang bosan. Namun saat saya ingin memilih majalah yang ditawarkan akhirnya saya
merasa binggung sendiri. Bagaimana tidak, ternyata majalah yang terpampang disana seluruhnya adalah majalah
wanita! Akhirnya saya beralih mencari koran yang ternyata adalah koran terbitan
lama sehingga membuat saya tidak tertarik membacanya. Sungguh sebuah hal yang
menarik dimana bengkel yang memiliki kesan kotor dan maskulin, tempat yang
biasanya didominasi kaum adam, malah menyediakan sebuah bahan bacaan yang
feminis. Seperti sebuah penjajahan yang tidak dirasakan oleh mereka yang
terjajah. Ketika saya amati (dengan perhitungan sekenanya) kira-kira 80% isi
rak itu adalah majalah wanita, entah itu majalah memasak, majalah rumah tangga,
atau pun majalah fashion. Sementara sisanya hanya koran-koran kemarin yang
beritanya sudah usang.
Pada awalnya saya tidak begitu
berpikir serius dengan gejala ini, pikir saya paling majalah-majalah itu
kepunyaan si nyonya pemilik bengkel. Mungkin rumahnya sudah terlalu sesak
sehingga majalah-majalah itu dihibahkan agar dibaca oleh para pelanggan yang
bosan menunggu atau bahkan mungkin hanya sebagai pajangan wajib yang harus ada
di ruang tunggu. Namun akhirnya penasaran saya timbul. Kenapa barang berbau
“feminim” bisa berada di daerah yang seyogyanya berbau maskulin? Jikalau saya
menjadi pemilik bengkel apalagi dengan keyakinan saya bahwa pelanggan yang
datang rata-rata adalah kaum
lelaki, maka saya akan membuat rak buku itu penuh dengan majalah-majalah
otomotif maupun olahraga yang banyak digemari oleh para kaum lelaki. Karena
pelanggan wanita tidak seberapa banyaknya dengan pelanggan pria, jadi menurut
saya itu adalah keputusan yang amat wajar. Namun mungkin si pemilik bengkel
mempunyai pemikiran lain. Mungkin saja dia berpikiran tidaklah penting memajang
majalah jenis tertentu di ruang tunggunya, tak akan bedanya saat mengganti
jenis majalahnya, toh orang-orang
Indonesia tidak banyak yang gemar membaca. Maka jadilah majalah-majalah itu
sebagai penggugur kewajiban sebuah kelengkapan ruang tunggu standar. Jadi
seperti ada pemakluman tentang budaya membaca yang minim dari para pelanggan
yang membuat pemilik toko tidak terlalu memusingkan masalah majalah ini. Toh mungkin pikirnya ada atau tidak
adanya majalah para pelanggan tidak akan membacanya, namun mereka lebih memilih
menonton TV yang memang sudah dia sediakan, karena tulisan selalu akan kalah
dengan audio-visual. Bisa jadi memang
si pemilik menghibahkan majalah-majalah langanan istrinya yang tak terpakai
pada ruang tunggu itu sebagai pelengkap saja.
Setelah dua setengah jam
menunggu, akhirnya motor saya selesai juga diservis. Keluarlah saya dari ruang
tunggu eksklusif itu dan menuju meja kasir. Sembari menunggu kasir yang sedang
menghitung uang yang harus saya bayarkan, terlihatlah mereka para pelanggan
lain yang menunggu di luar tanpa media penghilang kebosan meraka. Sekitar 6-7
pelanggan (semuanya laki-laki) duduk disana, sama lamanya dengan saya atau mungkin
lebih lama, dan hanya saya seorang yang menunggu di ruang tunggu kecil itu.
Akhirnya seraya meninggalkan bengkel saya berpikir, “Mungkin karena
majalah-majalah “feminim” itu yang membuat para pelanggan (laki-laki) tidak mau
menunggu di ruang tunggu yang lebih nyaman itu.”.
Comments
Post a Comment